Senin, 23 Desember 2013

Siapakah Suamimu di Jannah-NYA Kelak ?


Akhowaaty muslimaat,.
Tahukah kau siapa suamimu di jannah kelak? (Jika kita smua diperkenankan oleh Allah masuk ke Jannah-NYA, aamiin y Allah_. Satu lg, sebelum berpikir masalah ini, pikirkan dulu bagaimana caranya masuk surga.. :) ). Sdikit tulisan di bawah ini akan menjawab pertanyaan antunna. Ini bukan ramalan dan bukan pula tebakan, tapi kepastian (atau minimal suatu prediksi yang insya Allah akurat), yang bersumber dari wahyu dan komentar para ulama terhadapnya. Berikut uraiannya:
*Perlu diketahui bahwa keadaan wanita di dunia, tidak lepas dari enam keadaan:
1.    Dia meninggal sebelum menikah.
2.    Dia meninggal setelah ditalak suaminya dan dia belum sempat menikah lagi sampai meninggal.
3.    Dia sudah menikah, hanya saja suaminya tidak masuk bersamanya ke dalam surga, wal’iyadzu billah…!
4.    Dia meninggal setelah menikah baik suaminya menikah lagi sepeninggalnya maupun tidak (yakni jika dia meninggal terlebih dahulu sebelum suaminya).
5.    Suaminya meninggal terlebih dahulu, kemudian dia tidak menikah lagi sampai meninggal.
6.    Suaminya meninggal terlebih dahulu, lalu dia menikah lagi setelahnya.
*Berikut penjelasan keadaan mereka masing-masing di dalam surga:
Perlu diketahui bahwa keadaan laki-laki di dunia, juga sama dengan  keadaan wanita di dunia: Di antara mereka ada yang meninggal sebelum menikah, di antara mereka ada yang mentalak istrinya kemudian meninggal dan belum sempat menikah lagi, dan di antara mereka ada yang istrinya tidak mengikutinya masuk ke dalam surga. Maka, wanita pada keadaan pertama, kedua, dan ketiga, Allah -’Azza wa Jalla- akan menikahkannya dengan laki-laki dari anak Adam yang juga masuk ke dalam surga tanpa mempunyai istri karena tiga keadaan tadi. Yakni laki-laki yang meninggal sebelum menikah, laki-laki yang berpisah dengan istrinya lalu meninggal sebelum menikah lagi, dan laki-laki yang masuk surga tapi istrinya tidak masuk surga.
Ini berdasarkan keumuman sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam hadits riwayat Muslim no. 2834 dari sahabat Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-:
مَا فِي الْجَنَّةِ أَعْزَبٌ
“Tidak ada seorangpun bujangan dalam surga”.
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin -rahimahullah- berkata dalam Al-Fatawa jilid 2 no. 177, “Jawabannya terambil dari keumuman firman Allah -Ta’ala-:
وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ. نُزُلاً مِنْ غَفُوْرٍ رَحِيْمٍ
“Di dalamnya kalian memperoleh apa yang kalian inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kalian minta. Turun dari Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Fushshilat: 31)
Dan juga dari firman Allah -Ta’ala-:
وَفِيهَا مَا تَشْتَهِيهِ الْأَنْفُسُ وَتَلَذُّ الْأَعْيُنُ وَأَنْتُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Dan di dalam surga itu terdapat segala apa yang diingini oleh hati dan sedap (dipandang) mata dan kalian kekal di dalamnya.” (Az-Zukhruf: 71)
Seorang wanita, jika dia termasuk ke dalam penghuni surga akan tetapi dia belum menikah (di dunia) atau suaminya tidak termasuk ke dalam penghuhi surga, ketika dia masuk ke dalam surga maka di sana ada laki-laki penghuni surga yang belum menikah (di dunia). Mereka -maksud ana adalah laki-laki yang belum menikah (di dunia)-, mereka mempunyai istri-istri dari kalangan bidadari dan mereka juga mempunyai istri-istri dari kalangan wanita dunia jika mereka mau. Demikian pula yang kita katakan perihal wanita jika mereka (masuk ke surga) dalam keadaan tidak bersuami atau dia sudah bersuami di dunia akan tetapi suaminya tidak masuk ke dalam surga. Dia (wanita tersebut), jika dia ingin menikah, maka pasti dia akan mendapatkan apa yang dia inginkan, berdasarkan keumuman ayat-ayat di atas”.
Dan beliau juga berkata pada no. 178, “Jika dia (wanita tersebut) belum menikah ketika di dunia, maka Allah -Ta’ala- akan menikahkannya dengan (laki-laki) yang dia senangi di surga. Maka, kenikmatan di surga, tidaklah terbatas kepada kaum lelaki, tapi bersifat umum untuk kaum lelaki dan wanita. Dan di antara kenikmatan-kenikmatan tersebut adalah pernikahan”.
Adapun wanita pada keadaan keempat dan kelima, maka dia akan menjadi istri dari suaminya di dunia.
Adapun wanita yang menikah lagi setelah suaminya pertamanya meninggal, maka ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian ulama -seperti Syaikh Ibnu ‘Ustaimin- berpendapat bahwa wanita tersebut akan dibiarkan memilih suami mana yang dia inginkan.
Ini merupakan pendapat yang cukup kuat, seandainya tidak ada nash tegas dari Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- yang menyatakan bahwa seorang wanita itu milik suaminya yang paling terakhir. Beliau -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
اَلْمَرْأَةُ لِآخِرِ أَزْوَاجِهَا
“Wanita itu milik suaminya yang paling terakhir”. (HR. Abu Asy-Syaikh dalam At-Tarikh hal. 270 dari sahabat Abu Darda` dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah: 3/275/1281)

Dan juga berdasarkan ucapan Hudzaifah -radhiyallahu ‘anhu- kepada istri beliau:
إِنْ شِئْتِ أَنْ تَكُوْنِي زَوْجَتِي فِي الْجَنَّةِ فَلاَ تُزَوِّجِي بَعْدِي. فَإِنَّ الْمَرْأَةَ فِي الْجَنَّةِ لِآخِرِ أَزْوَاجِهَا فِي الدُّنْيَا. فَلِذَلِكَ حَرَّمَ اللهُ عَلَى أَزْوَاجِ النَّبِيِّ أَنْ يَنْكِحْنَ بَعْدَهُ لِأَنَّهُنَّ أَزْوَاجُهُ فِي الْجَنَّةِ
“Jika kamu mau menjadi istriku di surga, maka janganlah kamu menikah lagi sepeninggalku, karena wanita di surga milik suaminya yang paling terakhir di dunia. Karenanya, Allah mengharamkan para istri Nabi untuk menikah lagi sepeninggal beliau karena mereka adalah istri-istri beliau di surga”. (HR. Al-Baihaqi: 7/69/13199 )
Faidah:
Dalam sholat jenazah, kita mendo’akan kepada mayit wanita:
وَأَبْدِلْهَا زَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهَا
“Dan gantilah untuknya suami yang lebih baik dari suaminya (di dunia)”.
Masalahnya, bagaimana jika wanita tersebut meninggal dalam keadaan belum menikah. Atau kalau dia telah menikah, maka bagaimana mungkin kita mendo’akannya untuk digantikan suami sementara suaminya di dunia, itu juga yang akan menjadi suaminya di surga?
Jawabannya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin -rahimahullah-. Beliau menyatakan, “Kalau wanita itu belum menikah, maka yang diinginkan adalah (suami) yang lebih baik daripada suami yang ditakdirkan untuknya seandainya dia hidup (dan menikah). Adapun kalau wanita tersebut sudah menikah, maka yang diinginkan dengan “suami yang lebih baik dari suaminya” adalah lebih baik dalam hal sifat-sifatnya di dunia (Maksudnya, suaminya sama tapi sifatnya menjadi lebih baik dibandingkan ketika di dunia.). Hal ini karena penggantian sesuatu kadang berupa pergantian dzat, sebagaimana misalnya saya menukar kambing dengan keledai. Dan terkadang berupa pergantian sifat-sifat, sebagaimana kalau misalnya saya mengatakan, “Semoga Allah mengganti kekafiran orang ini dengan keimanan”, dan sebagaimana dalam firman Allah -Ta’ala-:
يَوْمَ تُبَدَّلُ الْأَرْضُ غَيْرَ الْأَرْضِ وَالسَّمَوَاتُ 
“(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit.” (Ibrahim: 48)
Bumi (yang kedua) itu juga bumi (yang pertama) akan tetapi yang sudah diratakan, demikian pula langit (yang kedua) itu juga langit (yang pertama) akan tetapi langit yang sudah pecah”. Jawaban beliau dinukil dari risalah Ahwalun Nisa` fil Jannah karya Sulaiman bin Sholih Al-Khurosy. Wallaahu Ta'aala a'lam bish Showaab.

Minggu, 01 Desember 2013

Fenomena Istidroj

Ayat ke 44 dari surah al-An’am ini menjelaskan tentang fenomena istidroj, yakni diangkat menjadi lebih tinggi akan tetapi untuk dijatuhkan dari tempat yang lebih tinggi itu;

قال الله تعالى في قرآنه الكريم : فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ

Adakalanya ketika orang ingkar seingkar-ingkarnya, maksiat semaksiat-maksiatnya, justru malah terbuka segala pintu-pintu kesenangan bagi mereka. Tetapi ingat, hal itu tidaklah lama. Seperti yang disebutkan di dalam ayat itu selanjutnya;

حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ

"...sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam putus asa.."

Na’uudzubilaahi min dzaalik..

Ikhwah wa Akhowaty fillah,.
Ayat ini mengingatkan bahwa ada fenomena terkadang semakin maksiat seseorang, pintu-pintu kesenangan semakin mudah dia peroleh. Tetapi itu bukanlah berkah, melainkan istidroj, yakni diangkat untuk dijatuhkan dari tempat yang lebih tinggi. Kita pasti berfikir ‘kemudian bagaimana kita menjaga diri dari fenomena istidroj ini?’ karena tentu kita tidak ingin harta yang sudah kita miliki, kesehatan yang kita punyai, perolehan-perolehan yang sudah kita capai, hanya mengangkat kita untuk jatuh dari tempat yang lebih tinggi..

Ikhwah wa Akhowaty yang dirahmati oleh Allah Subhaanahu wa Ta’aala.. ada ‘ulama yang mengatakan “apabila engkau merasa rezekimu semakin banyak, kebaikan-kebaikan semakin mudah diperoleh, harta benda semakin gampang didapat, tetapi pada saat yang sama, engkau juga mengakui, menyadari, bahwa ibadahmu tidak semakin bertambah, kesholehanmu tidak semakin meningkat, ketaatanmu tidak semakin kuat, maka hati-hati, jangan-jangan semua yang diperoleh dengan mudah itu adalah istidroj. Engkau sedang diangkat tetapi untuk dijatuhkan dari tempat yang lebih tinggi”.. na’uudzubillaahi min dzaalik..

Karena itu, marilah kita bersyukur atas semua nikmat yang sudah kita miliki.. bertaubat dari kesalahan, dari dosa yang pernah atau sedang kita lakukan,. Sehingga dengan demikian, nikmat demi nikmat tadi menghantarkan kita kepada kebahagiaan hakiki, bukan mengangkat kita pada satu puncak, kemudian kita dijatuhkan dari puncak tersebut secara menyakitkan..

Semoga Allah menjadikan kita insan yang senantiasa bersyukur,. hati yang selalu bersemangat untuk taat kepada Allah Subhaanahu wa Ta’aala, jasad yang senantiasa sehat dan menggunakannya untuk amal kebaikan, serta berperan di dalam masyarakat untuk kebaikan-kebaikan kita semua..aamiin ya Mujiibas-saailiin..

[Senja di Kampus Peradaban, Ponpes Hidayatullah Pusat, Gunung Tembak Balikpapan, 17 Rabi’ul Awwal 1434 H]

Sabtu, 30 November 2013

SENJA, SANGKA-ku, dan SUPIR 'JJ'



 

Ini sekerat ceritaku di senja pekan kemarin, 26 Safar tepatnya,
  
Saat itu hujan tengah asyik masyuk bercengkerama dengan bumi persada. Kugagah-gagahkan langkah keluar dari kawasan kampus Hidayatullah Depok/Kalimulya untuk menyetop angkot, pulang ke Rukonwi*-ku di Mangga Besar. Padahal baru berselang kurang lebih setengah jam sebelumnya aku tiba di Depok, karena suatu hal yang mendesak. Lalu sekarang aku harus segera balik ke Jakarta, demi mengejar urusan yang tak kalah pentingnya juga.

Maka, seperti yang kukatakan di awal tadi, 
Meski hujan turun lima kali lipatnya gerimis,
Meski badan menggigil sebab semua yang kupakai -mulai dari kaos kaki hingga yang menggantung di depan wajah, -kuyup dengan semena-mena.
Meski kampung tengah mulai merengek minta di tunaikan haknya,
Meski kakakku -Zola Van Rooy- yang imutnya kalah semut itu memintaku untuk menginap saja di rumahnya (baca: rumah mertua_red) dengan bujukan ‘aku bawa nasi padang nih (dari kantor)’,
Dan meski aku sendiri amat sangat tertarik dan ‘fii haajatin maassah’ untuk rehat saja baru kemudian esok hari pulang,

Toh akhirnya aku tetap keukeuh pada pendirianku.

Dengan alasan yang hampir-hampir mendekati 1000 (dengan nol yang dikurang dua), aku berkelit sembari menguatkan hati dan pendirian juga berpaling dengan tegas dari bungkusan masakan Padang itu. Mau pagi-pagi benar ke kampus lah, mau nyuci seabrek-abrek lah, mau jenguk teman yang lahiran-lah, mau ngepakin barang-lah, (dan setelah semua nanti kulakukan), mau ke Tanah Abang lah,. [point yang terakhir ini agaknya harus dilakukan padanya jarh wat ta’dil dulu]

Panjang kata, aku harus pulang sore ini juga.

Lalu, setelah sempat menikmati sensasi ‘doremifasol menggemetarkan’ -[setingkat di atasnya menggetarkan]- dari hujan di pinggir jalan dekat plang pesantren _tak lama, cuma sekitar 10 menit-an_ terlihat angkot biru tua D 10 yang akan kunaiki merayap dari arah Pasar Pucung.

Bismillaahi tawakkaltu ‘alAllah...

Setelah naik, ternyata sepi penumpang. Ganjil pula. Cuma aku, seorang Ibu muda kantoran, dan supir angkot -yang tak kuamati bagaimana rupanya-.

Angkot melaju. Curah hujan makin ramai saja mengetuk kaca jendela. Angin juga tanpa malu-malu menyapa mesra. Rasa menggigil naik hingga stadium 4,5 x 15500 [silahkan dihitung sendiri],
Yang kusyukuri, meski hujan melulu seharian- jalan tak membebek ataupun meng-ular seperti biasanya. Alias gak macet. Aku bernafas lega.

Beberapa menit setelah angkot yang kutumpangi jalan, Ibu muda itu akhirnya bersuara ‘Kiri, Mas!’
Lalu sudah tentu, ia pun turun sambil mengembangkan -sayap- payung pink-nya.

Tinggallah aku yang merana. Nelangsa. Seperti anak ayam yang hendak dimangsa. Ketakutan. Panik. Pucat. Pasi. Pias. [tahu sajalah, aku ‘bagaimana’. Riwayatku -selama 20 tahun kurang lebih menjalani hari-hari di Balikpapan- menyebutkan bahwa tak pernah sekalipun aku melanglang buana ke luar kawasan Pesantren, tanpa tangan ayah dalam genggaman-super erat-ku. Atau tanpa pengawalan beberapa ummahat atau kawan yang mutazawwijaat, atau mahramku -abang maupun adik- selalu saja ada orang lain yang bersamaku. Selain pertimbangan syari’at, aku memang penakut sekali. Nah, kebalikannya saat sekarang ini. Aku ada disini -ibukota- karena menuntut ilmu-ilmu yang ada di dalamnya, maka ia pun balik menuntutku untuk berani dan mandiri, meski bukan juga selalunya wara wiri kesana kemari seorang diri, tapi tak bisa dipungkiri, ada saja keadaan darurat yang menjadikannya seperti saat -dalam kisah- ini. Kini, aku sendiri dalam angkot sebagai penumpang. -dalam ukuran manusia, karena yakinku; Allah bersamaku, selalu).

Itulah, yang begini ini yang dulu tak pernah ada dalam riwayat hidupku ataupun sekedar terlintas di pikiranku.

Sendiri! Di angkot!

Tak ada penumpang lain dari mereka yang kukenal ataupun orang yang tak kukenal. Nihil. Dan ini Jakarta, aku tak bilang disini tempatnya segala macam kengerian dan kekerasan, tapi ia memang ma’ruf dalam hal itu.
Mau dibilang manusia sendiri dalam angkot, tidak juga. Berdua dengan supir. Bedanya aku di bagian belakang, dia di belakangnya stir. Ah, tapi itu sama sekali tak membantu. Yang ada malah hanya membuatku semakin merapat ke arah pintu turun, [ancang-ancang, biar lebih mudah untuk loncat keluar kalau-kalau terjadi apa-apa, #semoga itu tidak pernah terjadi, na’uudzubillaahi min dzaalik].

Dalam urusan yang begini memang aku bisa dibilang sangat-sangat penakut. Tapi itu juga ada alasannya. Bukan serta merta timbul tanpa sebab. Tidak lantas begitu saja ada dalam alam atas pun bawah sadarku.

Bagaimana aku bisa tenang, duduk manis, melipat tangan atau menyandarkan kepala dengan kalem, lebih-lebih pejam mata [mengganti beberapa tidur siang-malam yang tak terpenuhi dengan baik, -dicuri oleh siap siagaku buat bekal ikhtibar niha`iy, oleh perampungan makalah yang sudah tentu SKS, aktifitas baca-baca, dan lain-lain yang tak perlu disebut disini] -sedang tiap hari yang kusaksikan di dunia berita, realita, maupun maya selalunya didominasi oleh kekerasan. Baik itu kekerasan di angkot, jalan, pasar, rumah, gang, sekolah, kampus, baik itu berupa pencurian, penjambretan, penodongan, pembunuhan, penipuan, dan yang paling membuatku bergidik dan selalu kupinta pada Allah untuk melindungiku dari hal keji ini, ‘Intihaaku hurmatil mar`ah’ [sengaja pake bahasa Arab, lebih ‘manusiawi’ di telinga, bagiku. Meski esensinya ya sama saja.]
Semua jenis kejahatan di atas selalu menghantuiku. Tapi yang kusebut di akhir itu yang paling. Lebih. Dan sangat. Asyaddusy-Syadaa-id..! Dan yang sedang dan sempat marak beritanya di media, itu terjadi di angkot.

Maka mulailah aku berspekulasi dan berimajinasi yang tidak-tidak.

“Ya Robbyy.. bagaimana kalau supir ini banting stir, lantas membawa angkotnya melaju ke arah lain DENGAN aku yang -ada- di dalamnya???”

“Atau mungkin tiba-tiba angkot ini dimasuki oleh orang-orang yang punya niatan buruk, lalu mereka bersekongkol dengan supir ini??”

“ Ataukah..?”

“….atau..??”

Semakin berentetan dugaku, semakin melenceng pula gaya dudukku dari posisi semestinya. Tak kupikirkan sudah bagaimana anehnya model dudukku jika ada yang [sempat-sempatnya] merhatiin. Yang penting aku ‘PW’ (posisi wuenak), semakin mantap menghadap pintu keluar angkot. Tatapanku pun lurus-menyamping. [maksudnya?? Iya, karena pintu angkot di samping
Oho, bayarannya tentu saja mahal. Bisa dipastikan tanganku harus terus berpegang sekeras ‘azzam dan tenaga (sekuat yang kupunya) pada kayu kursi yang kududuki juga pada batang pintu, -kalau tidak, bisa dengan mudah badanku yang agak-agaknya bisa dikali tiga [atau 4?] dengan badan Ade ray ini akan nyusruk terpuruk ke pinggir jalanan yang ‘becek gak ada ojek’ di luar sana. Kalo itu nyang kejadian, laen lagi pan ceritanye. Berabe dah.

Keadaanku saat di angkot ini, setali tiga uang dengan kondisiku saat kali pertama naik pesawat. [Asia Air, 2006, takkan kulupa, zaman aku masih putih abu-abu, unyu-unyu deh pokoknya. #setuju aja lah..- Waktu itu kami menghadiri pernikahan kakakku, di Jakarta juga]. Di angkot kali ini pun begitu. Meski tentu derajat keparahannya dan ke’norak’annya jauh di atas peristiwa NPP alias ‘Naek Pesawat Perdana’ itu. Kalau di pesawat dulu bacaan do’a semua agama _yang disediakan di kantung kursi_ yang kugenggam erat, walau cuma satu yang kubaca dan kuhayati.

Tapi kali ini tidaklah sama. Angkot mah gak nyiapin buku panduan..yang ada hanya iklan-iklan berbagai rupa macam dan isinya yang di sematkan asal-asalan di pintu. Meski begitu bibir terus berbisik dan hati sedikitpun tak diam, [‘lewaat’ dah mbah dukun yang lagi komat kamit baca mantra], aku terus melafadz zikir, do’a, [mau itu do’a yang resmi ataupun ratapan plus jeritan nuraniku pada Allah -versi Arabic juga- yang kukarang-karang sendiri, jadi di tempat. Agak-agak acakadut dan semrawut mungkin, sebabnya fushhah banget juga nggak, bukan pula ammiyah, dari segi “ittishaalul kalimaat wal ma’na” lebih-lebih lagi. Pokoknya ustadz/ah ta’bir, qawaidh, dan adabku-lah yang bisa tahu bagaimana rupanya] pun al-Ma’tsurat shobaahan wa masaa-an, kulahap hingga tak bersisa. Pokoknya semua kutumpah-ruahkan. Kusedu-sedankan. Kupadu-padankan. Detik-detik selanjutnya rintihan Sahabat -Radhiyallaahu ‘anh- Bilal bin Rabaah saat ia dianiaya oleh Umayyah bi Khalaf pun turut unjuk gigi menjadi tamengku. ‘Ahad.. ‘Ahadddd’…..!!

Tiba-tiba,

CKIIIIIIIIIIIITTTTTTTTTT….!!!!!!!!!!!!!!!!!

[kira-kira begitu bunyinya dalam bahasa novel dan komik]

Angkot dihentikan tanpa aba-aba, direm mendadak. Diarahkan ke sisi jalan. Itu kusadari setelah kurasa badanku agak ‘melayang’, timpang, lalu berbuah ter-jedotnya kepalaku ke kaca. [sekilas laporan cuaca: Hujan saat ini masih ‘sangat’ derasnya].

Kulihat tak ada penumpang yang menunggu di sana untuk naik, hujan masih setia seperti laporan cuaca di atas, lalu sepanjang sadarku aku belum bilang "Kiri, pak Chauffeur*!", tak terdengar bunyi pecah ban, bukan pula di POM bensin, tak terjadi kecelakaan, dan kurasa tak jua ada tubuh manusia yang melayang sebab tertabrak, yang ada malah sekawanan pemuda di pinggir jalan dengan gaya yang -biasa ku cap ‘preman kota’- tengah memicingkan mata kearahku [ke angkot tepatnya],

Lha, ada apa iniiiiii?? Kok BERHENTII????!!!

Ya Allahh.. inikah sudah klimaksnya?? Endingnya?? Epilognya?? -pikirku gak pake lama.



Lalu, sedetik sebelum kuputuskan untuk ‘SL 6’ [Segera: Loncat, Lari, lalu lapor polisi lalu-lintas], suara bariton-nya sampai di cuping telingaku,



“Mbak, pindah ke depan ya, gak usah aja bayar”


Karena masih shock, sejenak aku beku, kuku-ku kaku dan ragaku gagu di tempat, menatap pak Supir -yang sedang bekerja- (eh, itu mah buat abang delman ya)- dengan pandangan kabur kekosong-kosongan,

lalu yang bisa keluar dari pita suaraku,


“Eh…???”

Dalam senyumnya yang simpul dia ulang,
“Pindah mbak,, tuh angkot yang di depan, gak usah bayar deh. Mau ke terminal kan? Dikit lagi nyampe kok. Saya mau putar.”

Setelah diulang barulah aku ‘ngeh’.

Dan saat itu pula baru aku dapati bahwa supir yang satu ini jidatnya ada tanda sujudnya, juga jenggotan, habisnya sejak awal mataku cuma nemplok dan berkisar di pintu turun saja.

Tanpa suara, segera aku pindah ke angkot yang serupa di depannya, -tadi gak keliatan mah kalo ada nih angkot ngetem di sini-,.

Amboiiii..
Kakiku semisal kapuk dalam bantal yang habis ditepuk pakai kekuatan beruk,
bak kerupuk yang sudah gak ‘kriukk’,
serasa bagai pipi ‘merah ke-ungu-unguan’ Upin-Ipin yang lebam habis kena tepukan Aka’ Ros yang teruk,
serupa dengan layunya sorot mata bujang lapuk.

Kakiku lemas minta ampun. Lesu tiada tara. Meski begitu kuat juga ia menopang tubuhku hingga mendarat dengan selamat, duduk di angkot lanjutan. Sudah banyak penumpang.

Seakan sengaja ngetem untuk menungguku, angkot segera melaju. Dan tak sampai tiga menit, terminal yang kutuju sudah di pelupuk mata. Dari sana aku naik lagi angkot cokelat tua blasteran muda keputih-putihan, no. 04, arah Pasar Minggu. Lalu dari Ps. Minggu, numpang angkot merah S 15 A, Metromini 75, dan kawan-kawannya yang biasanya kutransitkan di dekat halte Busway Jatipadang. Rentetan perjalanan ini akan memakan waktu sedikit lebih lama, jadi kugunakan saat-saat itu untuk melegakan nafas, mengurut jemari yang kupaksa kerja keras tadi, mengusap benjolan ‘indah’ di jidat, lalu kucoba melupakan ‘peristiwa mengerikan’ yang sudah kualami tadi. [tentunya kengeriannya berseliweran di alam pikiranku saja, karena nyatanya, -walhamdulillaah ‘alaa kulli haal- Allah masih menjagaku, dan semoga Ia akan selalu menjagaku,, a’uudzubikalimaatilaahit taammaati min syarri maa khalaq..]

Dan, meski Allah melindungiku dengan nyata hari ini, bukan berarti aku lantas merasa ke depannya keadaan akan selalu sama dan akhirnya menganggap remeh,. Oh, tidak. Tak peduli para supir ataupun ‘penguasa’ jalanan menganggap proteksiku terhadap diriku berlebihan, lebay, atau apalah,, mungkin dengan melihat gayaku yang ‘aneh’ menurut kebanyakan orang, -misal: bersikap awas, siaga, duduk dekat pintu, meluk ransel erat-erat, sekujur badan tak bisa di pandang kecuali apa yang kupakai untuk memandang,- aku tak perduli, Sungguh. Karena dengan bantuan Allah tentunya dan beberapa sikap dan keadaan yang kusebut di atas lah aku merasa aman.

Itu sebagian pelajaran dan hikmah yang bisa kuambil dari ‘kisah S3-ku’ ini, walau belakangan baru terasa ada sedikit yang mengganjal.



Ah ya, Pak Supir itu……

Maka dalam lirih, kukirim permintaan maaf setulusnya atas Su-udzhann-ku padanya yang overdosis tadi. Juga tak lupa ku paketkan kalimatus syukr, atas gratisan angkotnya..
“Allaahumaftah abwaaba rizqihi..”



*Ket:
(*JJ = Jidat hitam dan Jenggotan
(*Rukonwi = bukan sodaranya Pak Jokowi loh ya,. Tapi yang ini tuh ‘Rumah-Kontrakan-Syurgawi’. [menurut pengakuan penghuninya^^].
(* Chauffeur = Sopir, France version. Saking gimana gitunya saat itu -ceritanya- sampe bukan bahasa ibu pertiwi lagi yang keluar.

#Walillaahil Hamd.


#Ida Nahdhah, Kampus Peradaban Hidayatullah Gunung Tembak, Balikpapan KAL-TIM. 5 Rabi'ul Awwal 1434 H.

Selasa, 17 Januari 2012

(Lyric) غرباء




Bismillaahirrohmaanirrohiim...
Qt pstx sering dengar murottal dengan Qari` Sa’ad al Ghamidi. Aktivis2 Islam era-80-90an mengenal Beliau selain sbg s'orang Qari` yang ckup digemari jga seorang munsyid atawa nasyider, dengan nasyid bertema jihadi n tanpa alat musik. N nasyidx yang paling ane gemari, dialah Ghuraba`, dari album ad-Damam. Brikut ni lirik nasyid ghuraba, nasyid yang always bwt hati trgetar n rindu dengan suasana k'islaman yang kental dgn prjuangan.
Ya Robb....jadikanlah kami sebagai "Generasi Ghuroba'...."

غرباء غرباء غرباء غرباء
غرباء غرباء غرباء غرباء
Ghurabaa`, ghurabaa`, ghurabaaa` ghurabaa`
Ghurabaa`, ghurabaa`, ghurabaaa` ghurabaa`

غرباء ولغير الله لا نحنى الجباة
(Gurabaa` Wa Li Ghayrillahi Laa Nahnil Jibaah)
Kami orang-orang terasing yang takkan tunduk kepada selain Allah
Ghurabaa` do not bow the foreheads to anyone besides Allah

غرباء وارتضيناها شعارا للحياة
(Gurabaa` War Tadhaynaaha Syiaa’ran Lil Hayaah)
Kami rela dengan hal itu karena merupakan syi’ar hidup
Ghurabaa` Have Chosen This To Be The Motto Of Life

إن ﺘﺴﺄل عنّا فإنّا لا نبالى بالطغاة
(Intas`al ‘Anna Fa Inna La Nubalii Bit Tughaah)
Bila engkau brtanya tentang kami, maka kami adalah orang yang tidak peduli dengan thaghut
If you ask about us, then we do not care about the tyrants

نحن جند الله دوما دربنا درب الأباة
(Nahnu Jundullaahi Dauman Darbunaa Darbul Ubaah)
Kami adalah tentara Allah dan jalan kami adalah jln yg sdh trsedia
We are the regular soldiers of Allah, our path is a reserved path
————————————————-

غرباء غرباء غرباء غرباء
غرباء غرباء غرباء غرباء

Ghurabaa`, ghurabaa`, ghurabaaa` ghurabaa`
Ghurabaa`, ghurabaa`, ghurabaaa` ghurabaa`

لن نبالى بالقيود بل سنمضى للخلود
(Lan Nubaalii Bil Quyuud Bal Sanamdhii Lil Khuluud)
Kami tak peduli dengan tali yang melilit bahkan kami kan sll mlangkah maju brjihad
We never care about the chains, rather we’ll continue forever

فلنجاهد ونناضل ونقاتل من جديد
(Fal Nujaahid Wa Nunaadil Wa Nuqaatil Min Jadiid)
Kami berjihad, mngobarkan bara pprangan,brjuang mlai dr skrg
So let us make jihad, and battle, and fight from the start

غرباء … هكذا الأحرار في دنيا العبيد
(Ghuraba`Un Hakazal Ahraaru Fii Dunyal A’biid)
Beginilah kami menjadi orang-orang merdeka didalam alam perbudakan
Ghurabaa`, this is how they are free in the enslaved world
————————————————-

غرباء غرباء غرباء غرباء
غرباء غرباء غرباء غرباء

Ghurabaa`, ghurabaa`, ghurabaaa` ghurabaa`
Ghurabaa`, ghurabaa`, ghurabaaa` ghurabaa`

كم تذاكرنا زمانا يوم كنّا سعداء
(Kam Tazaakarna Zamaanan, Yauma Kunnaa Sua’daa`)
Sering kami mengingat-ingat masa lalu di saat kami berbahagia
How many times we remembered a time when we were happy

بكتاب الله نتلوه صباحا و مساء
(Bi Kitaabillahi Nat’luhu Sobaahan,Wa Masa`)
Bersama kitab Allah yang selalu kami baca pada pagi dan petang
In the book of Allah, we recite in the morning and the evening
————————————————-

غرباء غرباء غرباء غرباء
غرباء غرباء غرباء غرباء

Ghurabaa`, ghurabaa`, ghurabaaa` ghurabaa`
Ghurabaa`, ghurabaa`, ghurabaaa` ghurabaa`

غرباء غرباء غرباء غرباء
غرباء غرباء غرباء غرباء

Ghurabaa`, ghurabaa`, ghurabaaa` ghurabaa`
Ghurabaa`, ghurabaa`, ghurabaaa` ghurabaa`
————————————————-
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :
بدأ اﻹسلام غريبا وسيعود غريبا كما بدأ فطوبى للغرباء

The Prophet SAW said:

“Islam began as something strange, and it will return as something strange the way it began. So give glad tidings to the strangers.”
Bersabda Rasulullah Sallallahu ‘alaihi was Sallam;
"Islam itu bermula dari asing, dan akan kembali asing seperti mulanya
Maka beruntunglah orang-orang yang asing.."

Perkembangan Seni Budaya Islam dan Pendidikan Islam di Indonesia


PENDAHULUAN
Islam merupakan salah satu agama yang masuk dan berkembang di Indonesia. Hal ini tentu bukanlah sesuatu yang asing bagi kita, karena di media massa mungkin kita sudah sering mendengar atau membaca bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki penganut agama Islam terbesar di dunia. Suatu hal yang dapat dikemukakan bahwa masuknya Islam ke Indonesia tidaklah bersamaan, ada daerah-daerah yang sejak dini telah dimasuki oleh Islam, di samping ada daerah yang terbelakang dimasuki Islam. Berkenaan dengan ini telah disepakati bersama oleh sejarawan Islam bahwa Islam pertama kali masuk ke Indonesia adalah di Sumatera. Kedatangan Islam ke Indonesia itu sendiri terjadi melalui kegiatan perdagangan yang ditempuh dengan proses yang sangat panjang sampai terbentuknya masyarakat muslim.
Masuknya Islam membawa perubahan di berbagai bidang di Indonesia, yang di antaranya adalah bidang seni budaya Islam dan Pendidikan Islam, yang akan pemakalah coba uraikan berikut ini;

A.    Perkembangan Seni Budaya Islam di Indonesia
Kesenian Islam Indonesia sebenarnya sangat minim bila dibandingkan dengan kesenian Islam di Negara lain, sebut saja kerajaan Mughal di India yang sampai sekarang masih memiliki simbol-simbol kebesaran arsitektur Islam seperti Taj Mahal. Hal ini disebabkan Islam masuk ke Indonesia dengan jalan damai sehingga seni Islam harus menyesuaikan diri dengan kebudayaan lama, dan Nusantara adalah negeri yang merupakan jalur perdagangan internasional, sehingga penduduknya lebih mementingkan masalah perdagangan daripada kesenian. Umat Islam Indonesia dalam hal seni Islam memang hanya menjadi pengikut, tidak  pernah menjadi pemimpin. Keseniannya sangat sederhana dan miskin. Kekuatan himmah seperti yang mendorong muslim di Negara lain untuk menciptakan pekerjaan besar, tidak muncul di Indonesia. Kalaupun muncul, biasanya berasal dari pengaruh luar atau peniruan tidak lengkap. Walaupun demikian, Islam datang ke nusantara membawa tamaddun (kemajuan) dan kecerdasan.[1]
            Ada beberapa sebab mengapa hal tersebut terjadi[2] :
1.      Islam yang datang ke Indonesia secara besar-besaran, kira-kira abad ke- 13 M, adalah akibat arus balik dampak kehancuran Baghdad. Dengan demikian, umat Islam yang datang pada hakikatnya adalah para pedagang atau elit bangsawan atau ulama-ulama penyebar agama Islam yang ingin mencari keselamatan dari kehancuran wilayah timur tengah karna adanya perang Mongol pimpinan Hulagu.
2.      Di Indonesia, terutama Jawa, ketika Islam datang sudah memiliki peradaban asli yang dipengaruhi  Hindu Budha yang sudah mengakar kuat terutama di pusat pemerintahan, maka seni Islam harus menyesuaikan diri.
3.      Umat Islam yang datang ke Indonesia mayoritas adalah pedagang (orang sipil, bukan pejabat pemerintah) yang tentu orientasinya adalah datang untuk sementara dan untuk mencari keuntungan untuk dibawah ke negrinya. Datang untuk sementara inilah yang menyababkan mereka mencari hal-hal yang praktis. Kalaupun ada ulama atau sufi yang datang untuk berdakwah,  mereka juga sufi pengembara yang pergi berdakwah dari satu tempat ke tempat lain, sehingga tidak terpikir untuk membuat sesuatu yang abadi.
4.      Ketika sudah ada umat Islam pribumi, kebanyakan keturunan pedagang atau sufi pengembara yang kemudian menjadi raja Islam di Nusantara dan mulai membangun kebudayaan Islam ,datang bangsa Barat yang sejak awal kedatangannya sudah bersikap memusuhi umat Islam (sisa-sisa dendam Perang Salib) sehingga raja-raja Islam pribumi belum sempat membangun.
5.      Islam yang datang ke Indonesia coraknya adalah Islam tasawuf yang lebih mementingkan olah rohani daripada masalah duniawi.
6.      Nusantara adalah negeri yang merupakan jalur perdagangan internasional, sehingga penduduknya lebih mementingkan masalah perdagangan daripada kesenian.
7.      Islam datang ke Indonesia dengan jalan damai, maka terjadilah asimilasi yaitu asal tidak melanggar aturan-aturan agama. Oleh sebab itu, tidak heran jika aspek seni budaya Islam Indonesia tidak hebat seperti di Negara Islam yang lain.

Kesenian-kesenian Islam yang ada di Indonesia adalah sebagai berikut;

1.      Batu Nisan
Kebudayaan Islam dalam bidang seni mula-mula masuk ke Indonesia dalam bentuk batu nisan. Di Pasai masih dijumpai batu nisan makam Sultan Malik al-Saleh yang wafat tahun 1292.[3] Hal yang dapat dicermati pada batu nisan ini dan merupakan indikator Persia yakni aksara yang dipahatkan pada batu nisan merupakan aksara shulus yang cirinya berbentuk segitiga pada bagian ujung. Gaya aksara jenis ini berkembang di Persia sebagai suatu karyaseni kaligrafi.[4] Batu nisan Sultan Malik as-Saleh terdiri dari pualam putih yang di ukir dengan tulisan Arab yang sangat indah berisikan ayat al-Qur`an dan keterangan tentang orang yang dimakamkan serta hari dan tahun wafatnya. Makam-makam yang serupa dijumpai pula di Jawa, seperti makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik.[5]
Indikator Persia lain ditemukan pada batu nisan Na‘ina Husam al-Din berupa kutipan syair yang ditulis penyair kenamaan Persia, Syaikh Muslih al-din Sa‘di (1193-1292 Masehi). Ditulis dalam bahasa Persia dengan aksara Arab. Batu nisan ini bentuknya indah dengan hiasan pohon yang distilir (disamarkan) dan hiasan-hiasan kaligrafi yang berisikan kutipan syair Persia dan kutipan al‘Quran II: 256 ayat Kursi.[6] Terkadang nisan-nisan ini juga dipahat­kan di atasnya kalimat-kalimat bernafaskan sufi, misalnya “Sesungguh­nya dunia ini fana, dunia ini tidaklah kekal, sesungguhnya dunia ini ibarat sarang laba-laba”, dan lain sebagainya.[7]
Meskipun pada umumnya nisan yang kebanyakan dipesan dari gujarat ini bercorak persia, namun bentuk-bentuk nisan kemudian hari tidak selalu demikian. Pengaruh kebudayaan setempat sering mempengaruhi, sehingga ada yang bentuknya teratai, keris, atau bentuk gunungan seperti gunungan pewayangan. Namun, kebudayaan nisan ini tidak berkembang lebih lanjut.[8]

2.      Perkembangan Aksara dan Seni Sastra (Kesusastraan)

Masuknya agama dan budaya Islam di Indonesia sangat berpengaruh terhadap perkembangan seni aksara dan seni sastra di Nusantara. Aksara dan seni sastra Islam pada awal perkembangannya banyak dijumpai di wilayah sekitar selat Malaka dan Pulau Jawa, walaupun jumlah karya sastra dan bentuknya sangat terbatas.

a.       Aksara masa awal Islam
Tersebarnya agama Islam ke Indonesia maka berpengaruh terhadap bidang aksara atau tulisan, yaitu masyarakat mulai mengenal tulisan Arab, bahkan berkembang tulisan Arab Melayu. Di samping itu juga, huruf Arab berkembang menjadi seni kaligrafi yang banyak digunakan sebagai motif hiasan ataupun ukiran.
Penulis aksara-aksara (huruf-huruf) Arab di Indonesia, biasanya dipadukan dengan seni jawa yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.[9] Huruf-huruf Arab yang tertulis dengan sangat indah itu disebut dengan seni kaligrafi (seni Khat). Seperti juga jenis karya seni rupa Islam lainnya, perkembangan seni kaligrafi Arab di Indonesia kurang begitu pesat, apalagi dibandingkan dengan negara-negara lain. Pernah pada awal kedatangannya digunakan untuk mengukir nama dan menulis ayat al-Qur’an di makam-makam terkenal, seperti makam wali Maulana Malik Ibrahim di Gresik dan makam Raja Pasai. Di makam itu ditulis dengan huruf Arab yang Indah, seperti nama, hari, dan tahun wafat serta ayat-ayat al-Qur’an. Namun, kelanjutan seni kaligrafi tidak terlalu berkembang karena penerapan kaligrafi Arab sebagai hiasan sangat terbatas.[10] Hal ini disebabkan oleh hal-hal sebab berikut :
·         Penggunaan seni kaligrafi Arab sebagai hiasan di Indonesia masih sangat terbatas.
·         Bangunan-bangunan kuno pada permulaan berdirinya Kerajaan Islam kurang memberi     peluang bagi penerapan seni kaligrafi.
·         Bangunan masjid-masjid kuno seperti masjid Banten, Cirebon, Demak dan Kudus  kurang memperhatikan penggunaan Seni Kaligrafi Arab.
Seni Kaligrafi hadir dengan kondisi yang kurang menguntungkan, tetapi dapat dikatakan tetap ada perkembangan, ini bisa dilihat dari kitab-kitab bacaan yang agak berkembang di Aceh dan kerajaan-kerajaan Islam lain yang ulamanya banyak menulis kitab-kitab agama. Ini bersamaan dengan berkembangnya seni sastra Islam berupa sya’ir-sya’ir dan penulisan kitab-kitab keagamaan.[11] Selain itu juga karena seni kaligrafi tetap diperlukan untuk berbagai macam keperluan seperti :[12]
·         Untuk hiasan pada bangunan-bangunan masjid.
·         Untuk motif hiasan batik.
·         Untuk hiasan pada keramik.
·         Untuk hiasan pada keris.
·         Untuk hiasan pada batu nisan dan,
·         Untuk hiasan pada dinding rumah
Sampai saat sekarang seni kaligrafi berkembang di Indonesia, terutama dalam seni ukir. Seni ukir kaligrafi ini dikembangkan oleh masyarakat dari Jepara.
b.      Seni sastra awal masa Islam
Sebagaimana halnya Hindu-Buddha, Islam pun memberi pengaruh terhadap seni sastra nusantara. Sastra yang dipengaruhi Islam ini terutama berkembang di daerah sekitar Selat Malaka (daerah melayu) dan Jawa. Di sekitar Selat Malaka merupakan perkembangan baru, sementara di Jawa merupakan kembangan dari sastra Hindu-Buddha.
Seni sastra yang berkembang pada awal periode Islam adalah seni sastra yang berasal dari perpaduan sastra pengaruh Hindu – Budha dan sastra Islam yang banyak mendapat pengaruh Persia. Dengan demikian wujud akulturasi dalam seni sastra tersebut terlihat dari tulisan/ aksara yang dipergunakan yaitu menggunakan huruf Arab Melayu (Arab Gundul) dan isi ceritanya juga ada yang mengambil hasil sastra yang berkembang pada jaman Hindu.[13]
Seni sastra zaman Islam yang berkembang di Indonesia yang mendapat pengaruh dari Persia, seperti cerita-cerita tentang Amir Hamzah, Kalilah dan Dimnah, Bayan Budiman, Kisah 1001 malam (alf lailah wa lailah), dan Abu Nawas. Hampir semua cerita salinan itu dinamakan hikayat dan dimulai dengan nama Allah dan shalawat nabi. Kebanyakan hikayat ini tidak diketahui penyalinnya. Sementara seni sastra yang masih dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu-Budha seperti Hikayat Pandawa Lima, Hikayat Sri Rama. Selain itu, kesusastraan Islam Indonesia adalah syair, di antara yang terkenal adalah syair sufi yang dikarang oleh Hamzah Fansuri, seperti syair perahu. Syair lain sama saja, tidak diketahui pengarangnya.[14]
Karya-karya sastra bentuk prosa dari Persia sampai pengaruhnya kepada kesusasteraan Indonesia misalnya kitab Menak yang ditulis dalam bahasa dan aksara Jawa yang semula ceritera dari Persia. Dalam bahasa Melayu menjadi Hikayat Amir Hamzah. Kitab Menak pada dasarnya serupa dengan kitab Panji, perbedaannya terletak pada tokoh-tokoh pemerannya. Ceritera-ceritera Menak dalam arti Hikayat Amir Hamzah, biasanya ditampilkan pula dalam pertun­jukan wayang golek yang konon diciptakan oleh Sunan Kudus, wayang kulit diciptakan oleh Sunan Kalijaga, dan wayang gedog diciptakan oleh Sunan Giri. Ceritera Menak jumlahnya tidak sedikit, misalnya kitab Rengganis yang banyak digemari oleh masyarakat Sasak di Lombok dan Palembang.[15]
Hasil kesusastraan lain yang mendapat pengaruh Syi‘ah adalah Kisah Muhammad Hanafiah, mengisahkan pertem­puran Hassan dan Husein, anak-anak Khalifah Ali, di medan perang Karbala. Ditulis dan diterjemah­kan dalam bahasa Melayu pada sekitar abad ke-15 Masehi. Hikayat Amir Hamzah, merupakan kisah roman melegenda berdasarkan tokoh Hamzah ibn Abd. Al-Mutalib, paman Nabi Muhammad S.A.W. Kisah roman ini ditulis oleh Hamzah Fansuri, seorang ulama Melayu penganut tasawwuf.Mir‘at al-Mu‘minin (Cerminan jiwa insan setia) yang ditulis oleh Shamsuddin as-Sumatrani, seorang penasehat spiritual Sultan Iskandar Muda, murid dan penerus Hamzah Fansuri.[16]
Para sastrawan Islam melakukan penggubahan-penggubahan baru terhadap Mahabarata, Ramayana, dan Pancatantra. Hasil gubahan ini misalnya Hikayat Pandawa Lima, Hikayat Perang Pandawa Jaya, Hikayat Seri Rama, Hikayat Maharaja Rawana, Hikayat Panjatanderan, Hikayat Panji Kuda Sumirang, Hikayat Cekel Waning pati, Hikayat Panji Wila kusuma, Cerita wayang kinudang, Sya’ir Panji Sumirang. Saduran-saduran tadi sebagian tertulis dalam tembang atau dalam gancaran. Di Jawa, muncul sastra-sastra lama yang dipengaruhi Islam semisal Bratayuda, Serat Rama, Arjuna Sasrabahu.
Bentuk seni sastra yang berkembang adalah:[17]
a. Hikayat yaitu cerita atau dongeng yang berpangkal dari peristiwa atau tokoh sejarah. Sering berisi keajaiban atau peristiwa yang tidak masuk akal. Terkadang juga berisi tokoh sejarah atau berkisar kepada suatu peristiwa yang sungguh terjadi. Hikayat ditulis dalam bentuk gancaran (karangan bebas atau prosa). Contoh hikayat yang terkenal yaitu Hikayat 1001 Malam, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Pandawa Lima, Hikayat Abu Nawas, Hikayat Hang Tuah, Hikayat Bayan Budiman, Hikayat Sri Rama, Hikayat Jauhar Manikam, Hikayat si Miskin (Hikayat Marakarma), Hikayat Bakhtiar,
b. Babad yakni kisah rekaan pujangga keraton sering dianggap sebagai peristiwa sejarahdi melayu sering disebut salasilah dan tambo.  Contohnya Babad Tanah Jawi (Jawa Kuno), Babad Giyanti, Sejarah Hasanudin, Salasilah perak, Sejarah Banten Rante-rante, Babad Cirebon dan lain-lain.
c. Suluk adalah kitab-kitab yang berisi ajaran tasawuf yang bersifat panteisme. Beberapa contoh dari kitab suluk seperti Suluk Sukarsa, dan Suluk Malang Sumirang.
d. Primbon yaitu kitab bercorak kegaiban dan berisi  ramalan-ramalan, penentuan-penentuan hari  baik dan buruk, serta pemberian-pemberian makna kepada suatu kejadian.
e. Bentuk kesusastraan disebut kitab karena isinya ajaran-ajaran moral dan tuntunan hidup sesuai dengan syari’at dan adat, misalnya kitab manik maya, Kitab Anbiya, Kitab Taj al-Salatin,  Bustan al-Salatin.
Dibandingkan seni sastra zaman Hindu, hasil-hasil seni sastra zaman Islam tidak terlalu banyak yang sampai kepada kita. Hal ini disebabkan seni sastra daerah belum mampu sebagai tempat menyimpan, mengabadikan, melangsungkan dan meneruskan hasil-hasil karya karangan sastra zaman Islam kepada kita.
3.      Seni Bagunan (Arsitektur)
Seni bangunan yang bercorak Islami jarang sekali dijumpai di Indonesia. Hampir tidak ada bangunan Islam di Indonesia yang menunjukkan keagungan Islam yang setaraf dengan bangunan bersejarah yang ada di negara Islam lainnya. Disamping itu, Indonesia tidak memiliki satu corak tersendiri seperti Ottoman Style, India style dan Syiro Egypt style, meskipun Islam telah lima abad ada di Indonesia.[18]
Model bangunan Islam pada saat itu masih sangat kental dengan aplikasi, bahkan peniruan model bangunan Hindu Budha. Hal ini dapat dilihat pada model-model masjid dan beberapa perlengkapannya, seperti: menara masjid, atap tumpang dan beduk raksasa yang semuanya adalah mengaplikasi bentuk budaya Hindu dan Budha.
Pasca kemerdekaan, Indonesia dapat berhubungan dengan bangsa yang lain, maka sedikit demi sedikit unsur-unsur lama dapat dihilangkan. Atap tumpang yang sangat identik dengan bangunan hindu Budha dimodifikasi dengan kubah dari masjid timur tengah atau India, misalnya Masjid Kutaraja yang didirikan oleh Belanda tahun 1878. Selain itu, masjid-masjid di Indonesia dalam perkembangannya banyak meniru model-model masjid Negara Islam lainnya. Seperti Masjid Syuhada yang ada di yogyakarta yang menyerupai Taj Mahal India, masjid Istiqlal yang menyerupai ottoman style yang ada di Byzantium dan masjid Al-Tien (di TMII) yang meniru model bangunan India.


4.      Seni Ukir
Tradisi Islam tidak menggambarkan bentuk manusia atau hewan. Dalam sebuah riwayat disebutkan[19]. Berkata Said ibn Hasan: “Ketika saya bersama dengan Ibn Abbas datang seorang laki-laki, ia berkata: “Hai Ibn Abbas, aku hidup dari kerajinan tanganku, membuat arca seperti ini.” Lalu Ibn Abbas menjawab, “Tidak aku katakan kepadamu kecuali apa yang telah ku dengar dari Rasulullah saw. Beliau bersabda, “Siapa yang telah melukis sebuah gambar maka dia akan disiksa Tuhan sampai dia dapat memberinya nyawa, tetapi selamnya dia tidak akan mungkin memberinya nyawa.” Hadits di atas secara eksplisit melarang melukis apapun yang menyerupai makhluk yang hidup, apalagi manusia.
Pada masa-masa awal Islam di Indonesia, ternyata larangan ini diikuti, meskipun di Persi dan India hal itu tidak dihiraukan. Oleh sebab itu, ketika Islam baru datang ke Indonesia, terutama ke Jawa, ada kehati-hatian para penyiar agama. Banyak candi-candi besar, -termasuk candi Borobudur- ditimbun dengan tanah (baru  kemudian pada zaman Belanda ditemukan dan di gali kembali) supaya tidak mengganggu para muallaf.[20]
Kesenian ukir harus disamarkan, sehingga seni ukir dan seni patung menjadi terbatas kepada seni ukir hias saja. Untuk seni ukir hias, orang mengambil pola-pola berupa daun-daun, bunga-bunga, bukit-bukit, pemandangan, garis-garis geometri, dan huruf Arab. Pola ini kerap digunakan untuk menyamarkan lukisan makhluk hidup (biasanya binatang), bahkan juga untuk gambar manusia. Menghias masjid pun ada larangan, cukup tulisan-tulisan yang mengingatkan manusia kepada Allah dan Nabi serta firman-firman-Nya. Salah satu masjid yang dihiasi dengan ukiran-ukiran adalah Masjid Mantingan dekat Jepara berupa pigura-pigura yang tidak diketahui dari mana asalnya (pigura-pigura itu kini dipasangkan pada tembok-tembok masjid). [21]
Ukiran ataupun hiasan, selain ditemukan di masjid juga ditemukan pada gapura-gapura atau pada pintu dan tiang. Gapura-gapura banyak dihiasi dengan pahatan-pahatan indah, seperti gapura di Tembayat (Klaten) yang dibuat oleh Sultan Agung Mataram (1633), sedangkan hiasan yang mewah terdapat pada gapura di Sendang duwur yang polanya terutama berupa gunung-gunung karang, didukung oleh sayap-sayap yang melebar melingkupi seluruh pintu gerbangnya, dibawah sayap sebelah kanan tampak ada sebuah pola yang mengandung makna berupa sebuah pintu bersayap.[22]

B.     Perkembangan Pendidikan Islam Di Indonesia

Jika kita mencermati agenda permasalahan universal yang dihadapi rakyat Indonesia dewasa ini, maka diskursus yang paling menarik untuk dibahas adalah pendidikan. Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dan tidak bisa lepas dari kehidupan. Dengan pendidikan, kita bisa memajukan kebudayaan dan mengangkat derajat bangsa di mata dunia internasional. Dengan pendidikan akan lahirlah Sumber Daya Manusia yang berkualitas, baik dari segi spritual, intelegensi, maupun skill.
Kita barangkali perlu merefleksikan lagi bahwa Indonesia merupakan pusat konsentrasi umat Islam yang terbesar di dunia. Sehingga dengan demikian, eksistensi pendidikan Islam di Indonesia tidak dapat dipandang sebelah mata saja. Karena bagaimanapun, pendidikan Islam merupakan warisan leluhur bangsa ini yang pernah berhasil menciptakan manusia yang berkualitas, baik intelektual maupun moralitas. Sehingga tidak mengherankan, bila pendiri negeri ini meletakkan pendidikan pada tempat yang tertinggi sebagai sarana untuk membina dan membangun manusia Indonesia seutuhnya, sebagaimana tercermin dalam Pembukaan UUD 1945: “Untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.”
Untuk itu, tak berlebihan kiranya jika kita kembali merunut sejarah masa lalu terhadap perkembangan pendidikan Islam di Indonesia dari waktu ke waktu, sejak dengan ditandai oleh munculnya berbagai lembaga pendidikan secara bertahap; mulai dari yang amat sederhana, sampai dengan tahap-tahap yang sudah terhitung modern dan lengkap; yang kesemuanya telah memainkan fungsi dan perannya sesuai dengan tuntutan masyarakat dan zamannya. Dengan demikian diharapkan akan dapat menjadi bahan rujukan dan perbandingan bagi pengelola pendidikan Islam pada masa sekarang ini.
1.      Asal-usul Pendidikan Islam di Indonesia
Berbicara tentang pendidikan Islam di Indonesia, sangatlah erat hubungannya dengan kedatangan Islam itu sendiri ke Indonesia. Dalam konteks ini, Mahmud Yunus mengatakan, bahwa sejarah pendidikan Islam sama tuanya dengan masuknya Islam ke Indonesia. Hal ini disebabkan karena pemeluk agama Islam yang kala itu masih tergolong baru, maka sudah pasti akan mempelajari dan memahami tentang ajaran-ajaran Islam. Meski dalam pengertian sederhana, namun proses pembelajaran waktu itu telah terjadi. Dari sinilah mulai timbul pendidikan Islam, dimana pada mulanya mereka belajar di rumah-rumah, langgar/surau, masjid dan kemudian berkembang menjadi pondok pesantren. Setelah itu baru timbul sistem madrasah yang teratur sebagaimana yang dikenal sekarang ini.[23]
Berdasarkan ungkapan di atas, dapat dipastikan pendidikan Islam itu telah berlangsung di Indonesia sejak mubaligh pertama melakukan kegiatannya dalam rangka menyampaikan keIslaman baik dalam bentuk pentransferan pengetahuan, nilai, dan aktivitas maupun dalam pembentukan sikap atau suri tauladan. Maka dalam konteks pendidikan, para pedagang dan mubaligh yang memperkenalkan sekaligus mengajarkan Islam tersebut adalah pendidik, sebab mereka telah melaksanakan tugas-tugas kependidikan.
Dalam hal ini timbul pertanyaan, apa tolak ukur yang dijadikan bahwa kegiatan para pedagang atau mubaligh di dalam rangka menyampaikan ajaran Islam dapat digolongkan kepada aktivitas pendidikan. Untuk mencari makna dan hakikat pendidikan, maka perlu dcari ciri-ciri esensial aktivitas pendidikan, sehingga dapat dipilih mana aktivitas pendidikan dan mana yang bukan, untuk itu perlu dicari unsur dasar pendidikan.
Neong Muhadjir sebagaimana yang dikutip Haidar Putra Daulay menjelaskan bahwa ada lima unsur dasar pendidikan, yaitu adanya unsur pemberi dan penerima. Unsur pemberi dan penerima baru bermakna pendidikan kalau dibarengi dengan unsur ketiga, yaitu adanya tujuan baik. Jika hanya hubungan pemberi dan penerima saja yang ada ini belum dapat dikatakan aktivitas pendidikan, tanpa dibarengi dengan tujuan baik, sebab hubungan antara penjual dan pembeli, majikan dan buruh, juga ada hubungan antara pemberi dan penerima dan hubungan yang seperti ini belum dikatakan aktivitas pendidikan. Unsur berikutnya yakni unsur keempat cara atau jalan yang baik. Hal ini terkait nilai. Selanjutnya unsur kelima adalah konteks yang positif upaya pendidik adalah menumbuhkan konteks positif dengan menjauhi konteks negatif.[24]
Dengan dijelaskannya kelima unsur dasar pendidikan di atas akan dapat dijadikan acuan tentang aktivitas pedagang dan muballigh tersebut apakah dapat digolongkan sebagai sebuah aktivitas pendidikan atau bukan. Maka jika kita hubung-hubungkan akan ditemukan sebuah kesimpulan bahwa para pedagang dan mubaligh ketika memperkenalkan dan mengajarkan ajaran Islam kepada masyarakat sudah memenuhi unsur pendidikan tersebut. Dengan demikian, pendidikan Islam di Indonesia telah berlangsung sejak masuknya Islam ke Indonesia, dan dengan demikian pula pendidikan Islam telah memainkan peranannya dalam pembentukan masyarakat Indonesia.
2.      Sistem Pendidikan Islam Pada Masa Kerajaan Islam di Nusantara
Ibnu Batutah dalam bukunya Rihlah Ibn Batutah menuliskan bahwa ketika ia berkunjung ke Samudra Pasai pada tahun 1354 ia mengikuti raja mengadakan halaqah setelah shalat Jum’at sampai waktu Ashar. Dari keterangan itu diduga kerajaan Samudra Pasai ketika itu sudah merupakan pusat agama Islam dan tempat berkumpul para ulama-ulama dari berbagai Negara Islam untuk berdiskusi tentang masalah-masalah keagamaan dan keduniawian sekaligus.[25]
Setelah kerajaan Samudra pasai mundur dalam bidang politik, tradisi pendidikan agama Islam terus berlanjut. Samudra Pasai terus berfungsi sebagai pusat studi Islam di Asia tenggara, walaupun secara politik tidak berpengaruh lagi. ketika kerajaan Islam Malak muncul menjadi pusat kegiatan politik, Malak berkembang juga menjadi pusat studi Islam. Akan tetapi peranan Samudra Pasai sebagai pusat studi Islam tidak berkurang, bahkan terkadang masalah yang tidak dapat dipecahkan oleh ulama Malaka dimintakan fatwanya kepada ulama samudra pasai. Kerajaan Malaka selain sebagai pusat politik Islam, juga giat melaksanakan pengajian dan pendidikan Islam.[26]
Di kerajaan Aceh Darussalam, sultan Iskandar Muda juga sangat memerhatikan pengembangan agama dengan mendirikan masjid-masjid seperti Masjid Baiturrahman di Banda Aceh dan juga pusat-pusat pendidikan Islam yang disebut dayah. Sultan mengambil ulama sebagai penasihatnya, yang terkenal di antaranya adalah Samsuddin al-Sumatrani. Trasidi ini dilanjutkan oleh sultan-sultan selanjutnya, sehingga di Aceh terdapat ulama-ulama terkenal yang sangat berjasa menyebarkan ilmu pengetahuan Islam di Asia tenggara. Kemajuan pesat lembaga pendidikan di Aceh ini telah menyebabkan orang menjulukinya sebagai “Serambi Makkah”. Murid dari kerajaan lain belajar kepada guru ngajinya masing-masing, kemudian meningkat belajar lebih tinggi di Aceh, sesudah itu ke Makkah.
Dalam hubungannya dengan pengembangan pendidikan Islam di Indonesia, sejak awal penyebaran Islam, masjid telah memegang peranan yang cukup besar. Kedatangan orang-orang Islam ke Indonesia yang pada umumnya berprofesi sebagai pedagang, mereka hidup berkelompok dalam beberapa tempat, yang kemudian tempat-tempat yang mereka tempati tersebut menjadi pusat-pusat perdagangan. Di sekitar pusat-pusat dagang itulah, mereka biasanya membangun sebuah tempat sederhana (masjid), dimana mereka bisa melakukan shalat dan kegiatan lainnya sehari-hari. Memang tampaknya tidak hanya kegiatan perdagangan yang menarik bagi penduduk setempat. Kegiatan para pedagang muslim selepas dagangpun menarik perhatian masyarakat. Maka sejak itulah pengenalan Islam secara sistematis dan berlangsung di banyak tempat.
Pada masa itu, masjid dijadikan satu-satunya tempat bertemu antara ulama dengan masyarakat umum. Hal ini mengingat tidak ada tempat yang lebih memadai dalam mewadahi kegiatan tersebut selain di masjid. Maka tak heran bila akhirnya masjid selain untuk kegiatan ibadah, juga difungsi sebagai pusat kegiatan pendidikan bagi penduduk pedesaaan. Dari masjid inilah generasi muda muslim dididik dan digembleng, merekalah yang nantinya membuka jalan baru dalam membentuk masyarakat muslim di Indonesia dan menyebar sampai seluruh pelosok tanah air hingga terbentuknya kerajaan Islam di Indonesia.
Pada masa kerajaan Islam, para sultan memberikan dukungan yang sangat besar terhadap pengembangan masjid sebagai pusat pendidikan. Di Jawa, Sultan Demak memerintahkan pembangunan masjid agung yang menjadi pusat keilmuan kerajaan di Bintara, kemudian dukungan kepada para wali yang bertanggung jawab terhadap kehidupan agama Islam di Demak dengan pusat kegiatannya di Masjid Agung Demak. Dari masjid itulah para wali merencanakan, mendiskusikan dan membahas perkembangan Islam di Jawa dan pada akhirnya mereka berhasil mengIslamkan Pulau Jawa. Di Kutai, Sultan mendirikan masjid yang dijadikan sebagai tempat terhormat untuk menjadi tempat pendidikan dari kalangan bawah sampai atas, termasuk dari kalangan keluarganya sendiri. Sementara di Aceh, masjid dibangun dengan megah dan dijadikan tempat mendidik masyarakat kesultananan Aceh.[27]
Dalam perkembangan selanjutnya, masjid sebagai pusat pendidikan dan pengajaran secara informal maupun nonformal ini ternyata memberikan hasil yang cukup gemilang, yakni tersebarnya ajaran Islam keseluruh pelosok tanah air.
Di Minangkabau lembaga pendidikan disebut surau. Surau sebelum Islam datang berfungsi sebagai tempat menginap anak-anak bujang. Setelah Islam datang surau dipergunakan sebagai tempat shalat, pengajaran, dan pengembangan Islam, seperti belajar membaca al-Qur`an. Yang pertama melakukan Islamisasi surau adalah Syaikh Burhanuddin (1641-1691) setelah menuntut ilmu keislaman kepada Abdurra’uf Singkel di Kutaraja Aceh, burhanuddin kembali ke kampung halamannya di Ulakan-pariaman, mendirikan surau untuk mendidik kader-kader ulama yang akan melakukan pengembangan Islam selanjutnya di Minangkabau. Surau inilah cikal bakal lembaga pendidikan Islam yang lebih teratur di masa berikutnya. Murid-muridnya kemudian kembali ke tempat masing-masing, mendirikan surau-surau sambil melakukan perbaikan dan pengembangan.[28]
Di kerajaan Islam Banjar Kalimantan Selatan, lembaga pendidikan Islam pertama dikenal dengan nama langgar. Orang pertama yang mendirikan langgar adalah Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari, seorang ulama Banjar yang pernah menuntut ilmu keislaman di Aceh dan Makkah selama beberapa tahun. Sekembalinya ke Banjarmasin, ia membuat langgar yang didirikan di pinggiran ibukota kerajaan yang kemudian dikenal dengan nama kampung Dalam Pagar. Langgar di Banjar banyak kemiripannnya dengan pesantren di jawa.[29]
Di Jawa lembaga pendidikan Islam disebut pesantren. Sebelum Islam datang, pesantren sudah dikenal sebagai lembaga pendidikan agama Hindu. Setelah Islam masuk nama itu menjadi  nama lembaga pendidikan agama Islam. Lembaga pendidikan Islam pertama di Jawa adalah Pesantren Giri dan Pesantren Gresik di Jawa Timur. Terdapat juga pendidikan agama di Ampel-Surabaya-Jawa Timur, yang dibangun oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel Denta). Berawal dari usaha dua Sunan ini, pada masa berikutnya semakin banyak pusat-pusat pendidikan Islam di Jawa seperti Tembayat, Prawoto (Demak), dan Gunung Jati Cirebon.
Di Jawa setelah berdirinya kerajaan Demak, pendidikan Islam bertambah maju karena telah ada pemerintah yang menyelenggarakannya dan pembesar-pembesar Islam membelanya. Pada tahun 1476 di Bintoro di bentuk organisasi Bayankare Islah (Angkatan Pelopor Perbaikan) untuk mempergiat usaha dan pengajaran Islam. Salah satu dari rencana pekerjaannnya adalah membagi tanah Jawa-Madura atas beberapa bagian untuk lapangan pendidikan, yang mana tiap-tiap bagian dikepalai oleh seorang wali dan seorang pembantu (badal). [30]
Berdasarkan rencana itu, di tiap tempat sentral suatu daerah didirikan masjid, dipimpin oleh wali atau badal untuk menjadi sumber pendidikan Islam yang sampai sekarang dibeberapa tempat masih ada. Para wali tiap dearah diberi gelar sesuai dengan nama daerahnya, misalnya Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang, dan lain sebagainya. Sedangkan badal gelarnya Kiai Ageng, misalnya Kiai Agung Tarub, Kiai Agung Selo, dan lain-lain.
Kebijaksanaan wali-wali menyiarkan agama Islam dengan memasukkan unsur-unsur pendidikan dan pengajaran Islam dalam segala cabang kebudayaan sangat memuaskan, sehingga agama Islam tersebar ke seluruh Indonesia. [31]
Kemudian pusat kerajaan pindah ke Mataram tahun 1586. Pada zaman Sultan Agung Mataram (1613), sesudah mempersatukan Jawa Tengah dengan Jawa Timur pada Tahun 1630, Sultan Agung membangun negara, mempergiat pertanian dan perdagangan. Untuk pelaksanaan pendidikan di suatu kabupaten dibagi menjadi beberapa bagian. Pelaksanaannya pada tiap-tiap bagian dipertanggungjawabkan kepada beberapa ketib, dibantu oleh beberapa Modin. Naib dan pengawalnya serta Modin Desa adalah penyelenggara dan Naib sebagai kepalanya. Di beberapa daerah kabupaten diadakan Pesantren Besar lengkap dengan pondok-pondoknya untuk melanjutkan pendidikan di Desa. Gurunya diberi gelar Kiai Sepuh ayau Kanjeng Kiai.
Di desa-desa diadakan beberapa tempat pengajian al-Qur`an, dimulai dengan mengenal  huruf Hijaiyyah, Juz ‘Amma, al-Qur`an, pokok-pokok dasar ilmu agama Islam seperti ibadah, rukun iman, rukun Islam dan sebagainya.
Pada masa kerajaan Kartasura (± tahun 1700) ada beberapa pesantren besar yang dijadikan perdikan, yaitu diberikan tanah, sawah dan tempat tinggal sebagai hak milik turun temurun yang yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Tanah itu disebut tanah Mutihan. Namun sayang, pada tahun 1916-1917 semua perdikan dihapuskan oleh Belanda dijadikan tanah gubernemen.[32]

3.      Pendidikan Islam Zaman Penjajahan
a.       Pendidikan Zaman Belanda
Sejarah kolonial membuktikan bahwa Belanda sangat berkepentingan untuk menghambat pendidikan Islam di Indonesia. Hal yang dipandang menguntungkan Islam dinilainya akan merugikan kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Kenyataan pahit pernah dialami oleh umat Islam Indonesia dengan adanya kebijaksanaan ‘Perburuan Guru Agama’ yang diterapkan pemerintah. Kebijaksanaan itu merupaka reaksi pemerintah Belanda atas pemberontakan Banten tahun 1888. Umat Islam juga pernah merasakan getirnya kebijakan Ordonasi Guru tahun 1905 (dan diperbarui tahu 1925). Ordonasi guru mewajibkan setiap guru agama Islam memperoleh izin bupati bagi kelayakan mengajar, seperti mengajar membaca al-Qur`an.[33]
Pada masa tersebut, seorang bupati mengemban tugas mengawasi para penghulu, guru pengajian, dan semua hal yang berkaitan dengan kegiatan agama Islam. Beberapa kebijakan pemerintah yang sangat membatasi  gerak langkah umat Islam, termasuk dalam hal pendidikan,  sangat merugikan umat Islam dan perkembangan Islam di Indonesia. Dampaknya, pendidikan Islam mengalami stagnasi, atau bahkan kemunduran.[34]
Kemunduran pendidikan Islam itu sampai puncaknya sebelum tahun 1900 M yang meliputi seluruh Indonesia.  Bahkan pada tahun 1882 Belanda membuat badan khusus yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam. Tahun 1925 Belanda mengeluarkan peraturan lebih ketat, bahwa tidak semua kiai boleh memberikan pelajaran mengaji. Peraturan itu disebabkan tumbuhnya organisasi pendidikan Islam, seperti Muhammadiyah, Syarikat Islam, Al-Irsyad, Nahdhatul Wathan, dan lain-lain. Selain itu, untuk menjaga dan menghalangi masuknya pelajaran agama di sekolah umum yang kebanyakan muridnya beragama Islam, maka pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan yang disebut ‘netral agama’.
Jika melihat peraturan-peraturan Belanda yang demikian ketat mengawasi dan menekan aktivitas madrasah dan pesantren di Indonesia, seolah-olah pendidikan Islam akan lumpuh total pada perkembangan selanjutnya. Apa tetapi apa yang terjadi adalah sebaliknya.
Pada tahun 1901 Belanda melakukan politik etis, yaitu mendirikan pendidikan rakyat sampai ke desa yang memberikan hak-hak pendidikan pada pribumi dengan tujuan untuk mempersiapkan pegawai-pegawai yang bekerja untuk Belanda, juga untuk menghambat pendidikan tradisional. Di luar dugaan, berdirinya sekolah-sekolah rakyat di desa di mana orang pribumi belajar di sekolah-sekolah Belanda justru menjadikan mereka mengenal sistem pendidikan modern: sistem kelas, pemakaian meja, metode belajar modern, dan pengetahuan umum. Mereka juga menjadi mengenal surat kabar dan majalah untuk mengikuti perkembangan zaman. Pandangan rasional ini menjadi pendorong untuk mengadakan pembaharuan, di antaranya bidang agama dan pendidikan. Maka, lahirlah gerakan pembaruan pendidikan Islam.[35]
Masa perubahan di Jawa sejak tahun1900 dimulai oleh K.H. Hasyim Asyari yang membuka Pesantren Tebuireng di Jombang, mulai tingkat dasar sampai tingkat tinggi yang meluluskan banyak ulama. Pada masa perubahan ini kitab yang dipakai semuanya dicetak. Kitab yang ditulis tangan tidak dipakai lagi. pada mulanya kitab-kitab itu dicetak di Makkah dan Singapura, kemudian kitab-kitab itu dipesan ke Mesir. Selain kitab-kitab ada juga majalah dari Mesir seperti al-Manar.
Dengan demikian pembaruan pendidikan Indonesia sudah dimulai sejak zaman kolonial Belanda. Hal ini ditandai dengan berdirinya organisasi-organisasi Islam (seperti Sumatra Thawalib, Jaami’atul Khayr, Al-Irsyad, PUI, Muhammadiyah, PERSIS, dan lain lain) yang mendirikan sekolah-sekolah Islam, di mana sistem pengajarannya tidak lagi di surau dengan sistem tradisional melainkan sudah menggunakan sistem klasikal dengan kurikulum pelajaran agama dan pengetahuan umum, walaupun kondisinya masih sederhana.
b.      Pendidikan Zaman Jepang
Jepang menjajah Indonesia setelah mengalahkan Belanda dalam Perang Dunia II pada tahun 1942 dengan semboyan Asia Timur Raya atau Asia untuk Asia. Pada awalnya pemerintah jepang seakan-akan membela kepentingan Islam sebagai siasat untuk memenangkan perang. Untuk menarik dukungan rakyat Indonesia, pemerintah Jepang membolehkan didirikannya sekolah-sekolah agama dan pesantren-pesantren yang terbebas dari pengawasan Jepang. Selain itu, kebijaksanaan Jepang yang lain di antaranya; mengunjungi dan memberi bantuan kepada pondok pesantren yang besar-besar, memberi pelajaran budi pekerti kepada sekolah-sekolah negeri, mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam dipimpin oleh K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir, dan Bung Hatta, membolehkan berdirinya Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Kantor Urusan Agama yang pada zaman Belanda disebut kantor Voor Islamistische Saken yang dipimpin oleh  orientalis Belanda diubah menjadi Sumubu yang dipimpin ulama Islam sendiri, yaitu K.H. Hasyim Asyari dari Jombang dan di daerah-daerah disebut sumuka, didirikannya Barisan Pembela Tanah Air (PETA) oleh Ulama Islam bekerja sama dengan pemimpin nasionalis.
Maksud dari pemerintah jepang adalah agar kekuatan umat Islam dan nasionalis bisa diarahkan untuk kepentingan memenangkan perang yang dipimpin Jepang.
Pada masa pemerintahan Jepang, sekolah dasar dijadikan satu macam yaitu sekolah dasar enam tahun.  Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar digunakan di semua sekolah dan menjadi mata pelajaran utama. Bahasa Jepang diberikan sebagai mata pelajaran wajib. Para pelajar harus mempelajari adat istiadat Jepang. Mereka juga diharuskan melakukan kinrohosyi (kerja bakti), mengikuti pelatihan jasmani (taiso) dan latihan militer. Mereka digembleng  agar memiliki semangat Jepang, harus menyanyikan lagu kebangsaan Jepang Kimigayo serta melakukan penghormatan ke arah istana Kaisar di Tokyo dan bendera Jepang.
Para Guru dilatih dan diindoktrinasi dalam Hakko Iciu (kemakmuran bersama) pada bulan Juni 1942 di Jakarta. Para peserta diambil dari tiap-tiap daerah kabupaten. Sesudah selesai latihan mereka harus kembali ke daerah masing-masing, mengadakan latihan untuk meneruskan hasil yang mereka peroleh dengan melatih guru-guru yang lain, sehingga menjadi propaganda Jepang.
Semua perguruan tinggi masa pemerintah militer Jepang ditutup, walaupun kemudian ada beberapa yang dibuka, seperti Perguruan Tinggi Kedokteran (Ika Daigaku) di Jakarta tahun 1943, Perguruan Tinggi Teknik di Bandung, Perguruan Pamongpraja di Jakarta, Perguruan Tinggi Kedokteran Hewan di Bogor. Semuanya tetap di bawah pengawasan Jepang.[36]
Demikianlah sekolah-sekolah pada zaman militer Jepang umumnya mengalami kemunduran. Namun, masalah yang paling penting  pada sekolah-sekolah itu (1942-1945) adalah nasionalisasi, bahasa pengantar, serta pembentukan kader-kader muda untuk tugas berat di masa mendatang.

c.       Pendidikan Zaman Kemerdekaan
Pasca kemerdekaan, pendidikan Islam mulai mendapat kedudukan yang sangat penting dalam sistem pendidikan nasional. Pendidikan agama di sekolah mendapat tempat yang teratur, seksama, dan penuh perhatian. Madrasah dan pesantren juga mendapat perhatian. Untuk itu dibentuk Departemen Agama pada tanggal 3 Desember 1946 yang bertugas mengurusi penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah umum dan madrasah serta pesantren-pesantren.[37]
Pendidikan Islam setahap demi setahap dimajukan. Istilah pesantren yang dulu hanya mengajar agama di surau dan menolak modernitas pada zaman kolonial, sudah mulai beradaptasi dengan tuntutan zaman. Sekolah agama, termasuk madrasah ditetapkan sebagai model dan sumber pendidikan Nasional yang berdasarkan Undang-undang Dasar 1945.
Pada tahun 1958 pemerintah terdorong untuk mendirikan Madrasah Negeri dengan ketentuan kurikulum 30% pelajaran agama dan 70% pelajaran umum. Sistem penyelenggaraannya sama dengan sekolah-sekolah umum dengan perjenjangan; Madrasah Ibtida`iyyah Negeri (MIN) setingkat SD dengan lama belajar 6 tahun, Madrasah Tsanawiyyah Negeri (MTsN) setingkat SMP lama belajar 3 tahun, dan Madrasah ‘Aliyah Negeri (MAN) setingkat SMA lama belajar 3 tahun.
Selain itu tuntutan untuk mendirikan perguruan tinggi juga meningkat. Sebelum kemerdekaan sebenarnya sudah berdiri perguruan tinggi pertama, yaitu Sekolah Tinggi Islam didirikan oleh Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI) di Padang. Di Jakarta didirikan STI (Sekolah Tinggi Islam) pada Juli 1945 oleh beberapa pemimpin Islam, yaitu Hatta dan M. Natsir. Karena pergolakan kemerdekaan, STI dipindah ke Yogyakarta dan pada 22 Maret 1945 STI berubah menjadi UII (Universitas Islam Indonesia). Setelah kemerdekaan di Yogya juga dibuka UGM (Universitas Gadjah Mada). Pemerintah kemudian menawarkan untuk menegerikan UII dan UGM. UII menerima dengan syarat di bawah naungan Departemen Agama. Akhirnya hanya satu fakultas yang dinegerikan, yaitu Fakultas Agama.  Kemudian Fakultas Agama UII berubah menjadi PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri). Di Jakarta dibuka ADIA ( Akademi Dinas Ilmu Agama), yang pada Mei 1960 digabungkan dengan PTAIN oleh Departemen Agama menjadilah IAIN yang berkedudukan di Yogya dan bercabang di Jakarta. Setelah beberapa tahun Departemen Agama memisahkan IAIN menjadi dua yang masing-masing berdiri sendiri, yaitu IAIN Yogya dan IAIN Jakarta.

Sejalan dengan perkembangannya, IAIN bertambah pesat dan melahirkan cabang-cabangnya di pelbagai wilayah. Selain itu, perguruan tinggi swasta juga bermunculan di antaranya UNJ, UM, UNISBA, dan UNISMA. Pada tahun 2002, IAIN Syarif Hidayatullah berubah menjadi UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah yang di dalamnya menyelenggarakan pendidikan selain fakultas-fakultas agama -seperti Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Fakultas Adab,  dan Ilmu Humaniora, Fakultas Ushuluddin dan Falsafah, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Fakultas Dakwah dan Komunikasi- juga membuka Fakultas Psikologi, Fakultas Ekonomi dan Sosal, Fakultas Sain dan Tekhnologi, dan program pascasarjana. Juga sedang dirancang pendirian Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan.[38]















DAFTAR PUSTAKA

Daulay, Haidar Putra, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2007.
Hamka, Sejarah Umat Islam VI, Jakarta, Bulan Bintang, 1975.
Huda, Nor, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, Jogjakarta, Ar-Ruzz Media, 2007.
Nawawi, -An, Syarh Muslim, Juz XIV.
Sunanto, Musyrifah, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, Rajawali Press, 2010.
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1985.
lentera-rakyat.sos4um.com/t825-seni-bangunan-islam/html.
cimyelfata.blogspot.com/…./peradaban-islam-di-indonesia/html.
aditiyapk.wordpress.com/2008/.../islam-dalam-seni-budaya-indonesia/html.
majapahit1478.blogspot.com/p/jejak-islam//html.


[1]Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), h. 92
[2]Ibid., h. 92
[3]Hamka, Sejarah Umat Islam IV, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 78.
[5]Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia,……………, h. 94
[6] indonesianto07.wordpress.com/.../perkembangan-dan-akulturasi-islam.html
[7] Ibid.,
[8]Musyrifah Sunanto.,  h. 95
[9] aditiyapk.wordpress.com/2008/.../islam-dalam-seni-budaya-indonesia/html
[10]Musyrifah Sunanto., Op. Cit., h. 98
[11]Ibid.,  h.98-99.
[12] aditiyapk.wordpress.com/2008/.../islam-dalam-seni-budaya-indonesia...
[13] Ibid.,
 [14]Musyrifah Sunanto, Op. Cit., h. 98
[15] cimyelfata.blogspot.com/.../peradaban-islam-di-indonesia-sebelum.html
[17] Ibid,
[18]lentera-rakyat.sos4um.com/t825-seni-bangunan-islam/html
[19]An-Nawâwî, Syarh Muslim, juz XIV, hlm. 86-87
[20] Musyrifah Sunanto., Op. Cit., h. 101.
[21] Ibid., h. 103
[22] Ibid., h. 104.
[23]Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1985.
[24]Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cet. II, 2007.
[25] Musyrifah Sunanto…….,  h. 105
[26]Ibid., h. 105
[28]Mahmud Yunus, Op. Cit., h. 25.
[29] Musyrifah Sunanto, Op. Cit., h. 111
[30] Ibid., h. 114
[31] Ibid., h. 115.
[32] Ibid., h. 117.
[33] Nor Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), h. 374.
[34] Ibid., h. 374.
[35]Musyrifah Sunanto, Op. Cit., h. 120-121.
[36]Ibid., h. 126-127.
[37]Musyrifah Sunanto, Op. Cit., h. 128.
[38]Ibid., h. 131.