Saat itu hujan tengah asyik masyuk bercengkerama dengan bumi persada.
Kugagah-gagahkan langkah keluar dari kawasan kampus Hidayatullah
Depok/Kalimulya untuk menyetop angkot, pulang ke Rukonwi*-ku di Mangga
Besar. Padahal baru berselang kurang lebih setengah jam sebelumnya aku
tiba di Depok, karena suatu hal yang
mendesak. Lalu sekarang aku harus segera balik ke Jakarta, demi mengejar
urusan yang tak kalah pentingnya juga.
Maka, seperti yang kukatakan di awal tadi,
Maka, seperti yang kukatakan di awal tadi,
Meski hujan turun lima kali lipatnya gerimis,
Meski badan menggigil sebab semua yang kupakai -mulai dari kaos kaki hingga yang menggantung di depan wajah, -kuyup dengan semena-mena.
Meski kampung tengah mulai merengek minta di tunaikan haknya,
Meski kakakku -Zola Van Rooy- yang imutnya kalah semut itu memintaku untuk menginap saja di rumahnya (baca: rumah mertua_red) dengan bujukan ‘aku bawa nasi padang nih (dari kantor)’,
Dan meski aku sendiri amat sangat tertarik dan ‘fii haajatin maassah’ untuk rehat saja baru kemudian esok hari pulang,
Toh akhirnya aku tetap keukeuh pada pendirianku.
Dengan alasan yang hampir-hampir mendekati 1000 (dengan nol yang dikurang dua), aku berkelit sembari menguatkan hati dan pendirian juga berpaling dengan tegas dari bungkusan masakan Padang itu. Mau pagi-pagi benar ke kampus lah, mau nyuci seabrek-abrek lah, mau jenguk teman yang lahiran-lah, mau ngepakin barang-lah, (dan setelah semua nanti kulakukan), mau ke Tanah Abang lah,. [point yang terakhir ini agaknya harus dilakukan padanya jarh wat ta’dil dulu]
Panjang kata, aku harus pulang sore ini juga.
Lalu, setelah sempat menikmati sensasi ‘doremifasol menggemetarkan’ -[setingkat di atasnya menggetarkan]- dari hujan di pinggir jalan dekat plang pesantren _tak lama, cuma sekitar 10 menit-an_ terlihat angkot biru tua D 10 yang akan kunaiki merayap dari arah Pasar Pucung.
Bismillaahi tawakkaltu ‘alAllah...
Setelah naik, ternyata sepi penumpang. Ganjil pula. Cuma aku, seorang Ibu muda kantoran, dan supir angkot -yang tak kuamati bagaimana rupanya-.
Angkot melaju. Curah hujan makin ramai saja mengetuk kaca jendela. Angin juga tanpa malu-malu menyapa mesra. Rasa menggigil naik hingga stadium 4,5 x 15500 [silahkan dihitung sendiri],
Yang kusyukuri, meski hujan melulu seharian- jalan tak membebek ataupun meng-ular seperti biasanya. Alias gak macet. Aku bernafas lega.
Beberapa menit setelah angkot yang kutumpangi jalan, Ibu muda itu akhirnya bersuara ‘Kiri, Mas!’
Lalu sudah tentu, ia pun turun sambil mengembangkan -sayap- payung pink-nya.
Tinggallah aku yang merana. Nelangsa. Seperti anak ayam yang hendak dimangsa. Ketakutan. Panik. Pucat. Pasi. Pias. [tahu sajalah, aku ‘bagaimana’. Riwayatku -selama 20 tahun kurang lebih menjalani hari-hari di Balikpapan- menyebutkan bahwa tak pernah sekalipun aku melanglang buana ke luar kawasan Pesantren, tanpa tangan ayah dalam genggaman-super erat-ku. Atau tanpa pengawalan beberapa ummahat atau kawan yang mutazawwijaat, atau mahramku -abang maupun adik- selalu saja ada orang lain yang bersamaku. Selain pertimbangan syari’at, aku memang penakut sekali. Nah, kebalikannya saat sekarang ini. Aku ada disini -ibukota- karena menuntut ilmu-ilmu yang ada di dalamnya, maka ia pun balik menuntutku untuk berani dan mandiri, meski bukan juga selalunya wara wiri kesana kemari seorang diri, tapi tak bisa dipungkiri, ada saja keadaan darurat yang menjadikannya seperti saat -dalam kisah- ini. Kini, aku sendiri dalam angkot sebagai penumpang. -dalam ukuran manusia, karena yakinku; Allah bersamaku, selalu).
Itulah, yang begini ini yang dulu tak pernah ada dalam riwayat hidupku ataupun sekedar terlintas di pikiranku.
Sendiri! Di angkot!
Tak ada penumpang lain dari mereka yang kukenal ataupun orang yang tak kukenal. Nihil. Dan ini Jakarta, aku tak bilang disini tempatnya segala macam kengerian dan kekerasan, tapi ia memang ma’ruf dalam hal itu.
Mau dibilang manusia sendiri dalam angkot, tidak juga. Berdua dengan supir. Bedanya aku di bagian belakang, dia di belakangnya stir. Ah, tapi itu sama sekali tak membantu. Yang ada malah hanya membuatku semakin merapat ke arah pintu turun, [ancang-ancang, biar lebih mudah untuk loncat keluar kalau-kalau terjadi apa-apa, #semoga itu tidak pernah terjadi, na’uudzubillaahi min dzaalik].
Dalam urusan yang begini memang aku bisa dibilang sangat-sangat penakut. Tapi itu juga ada alasannya. Bukan serta merta timbul tanpa sebab. Tidak lantas begitu saja ada dalam alam atas pun bawah sadarku.
Bagaimana aku bisa tenang, duduk manis, melipat tangan atau menyandarkan kepala dengan kalem, lebih-lebih pejam mata [mengganti beberapa tidur siang-malam yang tak terpenuhi dengan baik, -dicuri oleh siap siagaku buat bekal ikhtibar niha`iy, oleh perampungan makalah yang sudah tentu SKS, aktifitas baca-baca, dan lain-lain yang tak perlu disebut disini] -sedang tiap hari yang kusaksikan di dunia berita, realita, maupun maya selalunya didominasi oleh kekerasan. Baik itu kekerasan di angkot, jalan, pasar, rumah, gang, sekolah, kampus, baik itu berupa pencurian, penjambretan, penodongan, pembunuhan, penipuan, dan yang paling membuatku bergidik dan selalu kupinta pada Allah untuk melindungiku dari hal keji ini, ‘Intihaaku hurmatil mar`ah’ [sengaja pake bahasa Arab, lebih ‘manusiawi’ di telinga, bagiku. Meski esensinya ya sama saja.]
Semua jenis kejahatan di atas selalu menghantuiku. Tapi yang kusebut di akhir itu yang paling. Lebih. Dan sangat. Asyaddusy-Syadaa-id..! Dan yang sedang dan sempat marak beritanya di media, itu terjadi di angkot.
Maka mulailah aku berspekulasi dan berimajinasi yang tidak-tidak.
“Ya Robbyy.. bagaimana kalau supir ini banting stir, lantas membawa angkotnya melaju ke arah lain DENGAN aku yang -ada- di dalamnya???”
“Atau mungkin tiba-tiba angkot ini dimasuki oleh orang-orang yang punya niatan buruk, lalu mereka bersekongkol dengan supir ini??”
“ Ataukah..?”
“….atau..??”
Semakin berentetan dugaku, semakin melenceng pula gaya dudukku dari posisi semestinya. Tak kupikirkan sudah bagaimana anehnya model dudukku jika ada yang [sempat-sempatnya] merhatiin. Yang penting aku ‘PW’ (posisi wuenak), semakin mantap menghadap pintu keluar angkot. Tatapanku pun lurus-menyamping. [maksudnya?? Iya, karena pintu angkot di samping
Oho, bayarannya tentu saja mahal. Bisa dipastikan tanganku harus terus berpegang sekeras ‘azzam dan tenaga (sekuat yang kupunya) pada kayu kursi yang kududuki juga pada batang pintu, -kalau tidak, bisa dengan mudah badanku yang agak-agaknya bisa dikali tiga [atau 4?] dengan badan Ade ray ini akan nyusruk terpuruk ke pinggir jalanan yang ‘becek gak ada ojek’ di luar sana. Kalo itu nyang kejadian, laen lagi pan ceritanye. Berabe dah.
Keadaanku saat di angkot ini, setali tiga uang dengan kondisiku saat kali pertama naik pesawat. [Asia Air, 2006, takkan kulupa, zaman aku masih putih abu-abu, unyu-unyu deh pokoknya. #setuju aja lah..- Waktu itu kami menghadiri pernikahan kakakku, di Jakarta juga]. Di angkot kali ini pun begitu. Meski tentu derajat keparahannya dan ke’norak’annya jauh di atas peristiwa NPP alias ‘Naek Pesawat Perdana’ itu. Kalau di pesawat dulu bacaan do’a semua agama _yang disediakan di kantung kursi_ yang kugenggam erat, walau cuma satu yang kubaca dan kuhayati.
Tapi kali ini tidaklah sama. Angkot mah gak nyiapin buku panduan..yang ada hanya iklan-iklan berbagai rupa macam dan isinya yang di sematkan asal-asalan di pintu. Meski begitu bibir terus berbisik dan hati sedikitpun tak diam, [‘lewaat’ dah mbah dukun yang lagi komat kamit baca mantra], aku terus melafadz zikir, do’a, [mau itu do’a yang resmi ataupun ratapan plus jeritan nuraniku pada Allah -versi Arabic juga- yang kukarang-karang sendiri, jadi di tempat. Agak-agak acakadut dan semrawut mungkin, sebabnya fushhah banget juga nggak, bukan pula ammiyah, dari segi “ittishaalul kalimaat wal ma’na” lebih-lebih lagi. Pokoknya ustadz/ah ta’bir, qawaidh, dan adabku-lah yang bisa tahu bagaimana rupanya] pun al-Ma’tsurat shobaahan wa masaa-an, kulahap hingga tak bersisa. Pokoknya semua kutumpah-ruahkan. Kusedu-sedankan. Kupadu-padankan. Detik-detik selanjutnya rintihan Sahabat -Radhiyallaahu ‘anh- Bilal bin Rabaah saat ia dianiaya oleh Umayyah bi Khalaf pun turut unjuk gigi menjadi tamengku. ‘Ahad.. ‘Ahadddd’…..!!
Tiba-tiba,
CKIIIIIIIIIIIITTTTTTTTTT…. !!!!!!!!!!!!!!!!!
[kira-kira begitu bunyinya dalam bahasa novel dan komik]
Angkot dihentikan tanpa aba-aba, direm mendadak. Diarahkan ke sisi jalan. Itu kusadari setelah kurasa badanku agak ‘melayang’, timpang, lalu berbuah ter-jedotnya kepalaku ke kaca. [sekilas laporan cuaca: Hujan saat ini masih ‘sangat’ derasnya].
Kulihat tak ada penumpang yang menunggu di sana untuk naik, hujan masih setia seperti laporan cuaca di atas, lalu sepanjang sadarku aku belum bilang "Kiri, pak Chauffeur*!", tak terdengar bunyi pecah ban, bukan pula di POM bensin, tak terjadi kecelakaan, dan kurasa tak jua ada tubuh manusia yang melayang sebab tertabrak, yang ada malah sekawanan pemuda di pinggir jalan dengan gaya yang -biasa ku cap ‘preman kota’- tengah memicingkan mata kearahku [ke angkot tepatnya],
Lha, ada apa iniiiiii?? Kok BERHENTII????!!!
Ya Allahh.. inikah sudah klimaksnya?? Endingnya?? Epilognya?? -pikirku gak pake lama.
Lalu, sedetik sebelum kuputuskan untuk ‘SL 6’ [Segera: Loncat, Lari, lalu lapor polisi lalu-lintas], suara bariton-nya sampai di cuping telingaku,
“Mbak, pindah ke depan ya, gak usah aja bayar”
Karena masih shock, sejenak aku beku, kuku-ku kaku dan ragaku gagu di tempat, menatap pak Supir -yang sedang bekerja- (eh, itu mah buat abang delman ya)- dengan pandangan kabur kekosong-kosongan,
lalu yang bisa keluar dari pita suaraku,
“Eh…???”
Dalam senyumnya yang simpul dia ulang,
“Pindah mbak,, tuh angkot yang di depan, gak usah bayar deh. Mau ke terminal kan? Dikit lagi nyampe kok. Saya mau putar.”
Setelah diulang barulah aku ‘ngeh’.
Dan saat itu pula baru aku dapati bahwa supir yang satu ini jidatnya ada tanda sujudnya, juga jenggotan, habisnya sejak awal mataku cuma nemplok dan berkisar di pintu turun saja.
Tanpa suara, segera aku pindah ke angkot yang serupa di depannya, -tadi gak keliatan mah kalo ada nih angkot ngetem di sini-,.
Amboiiii..
Kakiku semisal kapuk dalam bantal yang habis ditepuk pakai kekuatan beruk,
bak kerupuk yang sudah gak ‘kriukk’,
serasa bagai pipi ‘merah ke-ungu-unguan’ Upin-Ipin yang lebam habis kena tepukan Aka’ Ros yang teruk,
serupa dengan layunya sorot mata bujang lapuk.
Kakiku lemas minta ampun. Lesu tiada tara. Meski begitu kuat juga ia menopang tubuhku hingga mendarat dengan selamat, duduk di angkot lanjutan. Sudah banyak penumpang.
Seakan sengaja ngetem untuk menungguku, angkot segera melaju. Dan tak sampai tiga menit, terminal yang kutuju sudah di pelupuk mata. Dari sana aku naik lagi angkot cokelat tua blasteran muda keputih-putihan, no. 04, arah Pasar Minggu. Lalu dari Ps. Minggu, numpang angkot merah S 15 A, Metromini 75, dan kawan-kawannya yang biasanya kutransitkan di dekat halte Busway Jatipadang. Rentetan perjalanan ini akan memakan waktu sedikit lebih lama, jadi kugunakan saat-saat itu untuk melegakan nafas, mengurut jemari yang kupaksa kerja keras tadi, mengusap benjolan ‘indah’ di jidat, lalu kucoba melupakan ‘peristiwa mengerikan’ yang sudah kualami tadi. [tentunya kengeriannya berseliweran di alam pikiranku saja, karena nyatanya, -walhamdulillaah ‘alaa kulli haal- Allah masih menjagaku, dan semoga Ia akan selalu menjagaku,, a’uudzubikalimaatilaahit taammaati min syarri maa khalaq..]
Dan, meski Allah melindungiku dengan nyata hari ini, bukan berarti aku lantas merasa ke depannya keadaan akan selalu sama dan akhirnya menganggap remeh,. Oh, tidak. Tak peduli para supir ataupun ‘penguasa’ jalanan menganggap proteksiku terhadap diriku berlebihan, lebay, atau apalah,, mungkin dengan melihat gayaku yang ‘aneh’ menurut kebanyakan orang, -misal: bersikap awas, siaga, duduk dekat pintu, meluk ransel erat-erat, sekujur badan tak bisa di pandang kecuali apa yang kupakai untuk memandang,- aku tak perduli, Sungguh. Karena dengan bantuan Allah tentunya dan beberapa sikap dan keadaan yang kusebut di atas lah aku merasa aman.
Itu sebagian pelajaran dan hikmah yang bisa kuambil dari ‘kisah S3-ku’ ini, walau belakangan baru terasa ada sedikit yang mengganjal.
Ah ya, Pak Supir itu……
Maka dalam lirih, kukirim permintaan maaf setulusnya atas Su-udzhann-ku padanya yang overdosis tadi. Juga tak lupa ku paketkan kalimatus syukr, atas gratisan angkotnya..
“Allaahumaftah abwaaba rizqihi..”
*Ket:
(*JJ = Jidat hitam dan Jenggotan
(*Rukonwi = bukan sodaranya Pak Jokowi loh ya,. Tapi yang ini tuh ‘Rumah-Kontrakan-Syurgawi’ . [menurut pengakuan penghuninya^^].
(* Chauffeur = Sopir, France version. Saking gimana gitunya saat itu -ceritanya- sampe bukan bahasa ibu pertiwi lagi yang keluar.
#Walillaahil Hamd.
#Ida Nahdhah, Kampus Peradaban Hidayatullah Gunung Tembak, Balikpapan KAL-TIM. 5 Rabi'ul Awwal 1434 H.
Meski badan menggigil sebab semua yang kupakai -mulai dari kaos kaki hingga yang menggantung di depan wajah, -kuyup dengan semena-mena.
Meski kampung tengah mulai merengek minta di tunaikan haknya,
Meski kakakku -Zola Van Rooy- yang imutnya kalah semut itu memintaku untuk menginap saja di rumahnya (baca: rumah mertua_red) dengan bujukan ‘aku bawa nasi padang nih (dari kantor)’,
Dan meski aku sendiri amat sangat tertarik dan ‘fii haajatin maassah’ untuk rehat saja baru kemudian esok hari pulang,
Toh akhirnya aku tetap keukeuh pada pendirianku.
Dengan alasan yang hampir-hampir mendekati 1000 (dengan nol yang dikurang dua), aku berkelit sembari menguatkan hati dan pendirian juga berpaling dengan tegas dari bungkusan masakan Padang itu. Mau pagi-pagi benar ke kampus lah, mau nyuci seabrek-abrek lah, mau jenguk teman yang lahiran-lah, mau ngepakin barang-lah, (dan setelah semua nanti kulakukan), mau ke Tanah Abang lah,. [point yang terakhir ini agaknya harus dilakukan padanya jarh wat ta’dil dulu]
Panjang kata, aku harus pulang sore ini juga.
Lalu, setelah sempat menikmati sensasi ‘doremifasol menggemetarkan’ -[setingkat di atasnya menggetarkan]- dari hujan di pinggir jalan dekat plang pesantren _tak lama, cuma sekitar 10 menit-an_ terlihat angkot biru tua D 10 yang akan kunaiki merayap dari arah Pasar Pucung.
Bismillaahi tawakkaltu ‘alAllah...
Setelah naik, ternyata sepi penumpang. Ganjil pula. Cuma aku, seorang Ibu muda kantoran, dan supir angkot -yang tak kuamati bagaimana rupanya-.
Angkot melaju. Curah hujan makin ramai saja mengetuk kaca jendela. Angin juga tanpa malu-malu menyapa mesra. Rasa menggigil naik hingga stadium 4,5 x 15500 [silahkan dihitung sendiri],
Yang kusyukuri, meski hujan melulu seharian- jalan tak membebek ataupun meng-ular seperti biasanya. Alias gak macet. Aku bernafas lega.
Beberapa menit setelah angkot yang kutumpangi jalan, Ibu muda itu akhirnya bersuara ‘Kiri, Mas!’
Lalu sudah tentu, ia pun turun sambil mengembangkan -sayap- payung pink-nya.
Tinggallah aku yang merana. Nelangsa. Seperti anak ayam yang hendak dimangsa. Ketakutan. Panik. Pucat. Pasi. Pias. [tahu sajalah, aku ‘bagaimana’. Riwayatku -selama 20 tahun kurang lebih menjalani hari-hari di Balikpapan- menyebutkan bahwa tak pernah sekalipun aku melanglang buana ke luar kawasan Pesantren, tanpa tangan ayah dalam genggaman-super erat-ku. Atau tanpa pengawalan beberapa ummahat atau kawan yang mutazawwijaat, atau mahramku -abang maupun adik- selalu saja ada orang lain yang bersamaku. Selain pertimbangan syari’at, aku memang penakut sekali. Nah, kebalikannya saat sekarang ini. Aku ada disini -ibukota- karena menuntut ilmu-ilmu yang ada di dalamnya, maka ia pun balik menuntutku untuk berani dan mandiri, meski bukan juga selalunya wara wiri kesana kemari seorang diri, tapi tak bisa dipungkiri, ada saja keadaan darurat yang menjadikannya seperti saat -dalam kisah- ini. Kini, aku sendiri dalam angkot sebagai penumpang. -dalam ukuran manusia, karena yakinku; Allah bersamaku, selalu).
Itulah, yang begini ini yang dulu tak pernah ada dalam riwayat hidupku ataupun sekedar terlintas di pikiranku.
Sendiri! Di angkot!
Tak ada penumpang lain dari mereka yang kukenal ataupun orang yang tak kukenal. Nihil. Dan ini Jakarta, aku tak bilang disini tempatnya segala macam kengerian dan kekerasan, tapi ia memang ma’ruf dalam hal itu.
Mau dibilang manusia sendiri dalam angkot, tidak juga. Berdua dengan supir. Bedanya aku di bagian belakang, dia di belakangnya stir. Ah, tapi itu sama sekali tak membantu. Yang ada malah hanya membuatku semakin merapat ke arah pintu turun, [ancang-ancang, biar lebih mudah untuk loncat keluar kalau-kalau terjadi apa-apa, #semoga itu tidak pernah terjadi, na’uudzubillaahi min dzaalik].
Dalam urusan yang begini memang aku bisa dibilang sangat-sangat penakut. Tapi itu juga ada alasannya. Bukan serta merta timbul tanpa sebab. Tidak lantas begitu saja ada dalam alam atas pun bawah sadarku.
Bagaimana aku bisa tenang, duduk manis, melipat tangan atau menyandarkan kepala dengan kalem, lebih-lebih pejam mata [mengganti beberapa tidur siang-malam yang tak terpenuhi dengan baik, -dicuri oleh siap siagaku buat bekal ikhtibar niha`iy, oleh perampungan makalah yang sudah tentu SKS, aktifitas baca-baca, dan lain-lain yang tak perlu disebut disini] -sedang tiap hari yang kusaksikan di dunia berita, realita, maupun maya selalunya didominasi oleh kekerasan. Baik itu kekerasan di angkot, jalan, pasar, rumah, gang, sekolah, kampus, baik itu berupa pencurian, penjambretan, penodongan, pembunuhan, penipuan, dan yang paling membuatku bergidik dan selalu kupinta pada Allah untuk melindungiku dari hal keji ini, ‘Intihaaku hurmatil mar`ah’ [sengaja pake bahasa Arab, lebih ‘manusiawi’ di telinga, bagiku. Meski esensinya ya sama saja.]
Semua jenis kejahatan di atas selalu menghantuiku. Tapi yang kusebut di akhir itu yang paling. Lebih. Dan sangat. Asyaddusy-Syadaa-id..! Dan yang sedang dan sempat marak beritanya di media, itu terjadi di angkot.
Maka mulailah aku berspekulasi dan berimajinasi yang tidak-tidak.
“Ya Robbyy.. bagaimana kalau supir ini banting stir, lantas membawa angkotnya melaju ke arah lain DENGAN aku yang -ada- di dalamnya???”
“Atau mungkin tiba-tiba angkot ini dimasuki oleh orang-orang yang punya niatan buruk, lalu mereka bersekongkol dengan supir ini??”
“ Ataukah..?”
“….atau..??”
Semakin berentetan dugaku, semakin melenceng pula gaya dudukku dari posisi semestinya. Tak kupikirkan sudah bagaimana anehnya model dudukku jika ada yang [sempat-sempatnya] merhatiin. Yang penting aku ‘PW’ (posisi wuenak), semakin mantap menghadap pintu keluar angkot. Tatapanku pun lurus-menyamping. [maksudnya?? Iya, karena pintu angkot di samping
Oho, bayarannya tentu saja mahal. Bisa dipastikan tanganku harus terus berpegang sekeras ‘azzam dan tenaga (sekuat yang kupunya) pada kayu kursi yang kududuki juga pada batang pintu, -kalau tidak, bisa dengan mudah badanku yang agak-agaknya bisa dikali tiga [atau 4?] dengan badan Ade ray ini akan nyusruk terpuruk ke pinggir jalanan yang ‘becek gak ada ojek’ di luar sana. Kalo itu nyang kejadian, laen lagi pan ceritanye. Berabe dah.
Keadaanku saat di angkot ini, setali tiga uang dengan kondisiku saat kali pertama naik pesawat. [Asia Air, 2006, takkan kulupa, zaman aku masih putih abu-abu, unyu-unyu deh pokoknya. #setuju aja lah..- Waktu itu kami menghadiri pernikahan kakakku, di Jakarta juga]. Di angkot kali ini pun begitu. Meski tentu derajat keparahannya dan ke’norak’annya jauh di atas peristiwa NPP alias ‘Naek Pesawat Perdana’ itu. Kalau di pesawat dulu bacaan do’a semua agama _yang disediakan di kantung kursi_ yang kugenggam erat, walau cuma satu yang kubaca dan kuhayati.
Tapi kali ini tidaklah sama. Angkot mah gak nyiapin buku panduan..yang ada hanya iklan-iklan berbagai rupa macam dan isinya yang di sematkan asal-asalan di pintu. Meski begitu bibir terus berbisik dan hati sedikitpun tak diam, [‘lewaat’ dah mbah dukun yang lagi komat kamit baca mantra], aku terus melafadz zikir, do’a, [mau itu do’a yang resmi ataupun ratapan plus jeritan nuraniku pada Allah -versi Arabic juga- yang kukarang-karang sendiri, jadi di tempat. Agak-agak acakadut dan semrawut mungkin, sebabnya fushhah banget juga nggak, bukan pula ammiyah, dari segi “ittishaalul kalimaat wal ma’na” lebih-lebih lagi. Pokoknya ustadz/ah ta’bir, qawaidh, dan adabku-lah yang bisa tahu bagaimana rupanya] pun al-Ma’tsurat shobaahan wa masaa-an, kulahap hingga tak bersisa. Pokoknya semua kutumpah-ruahkan. Kusedu-sedankan. Kupadu-padankan. Detik-detik selanjutnya rintihan Sahabat -Radhiyallaahu ‘anh- Bilal bin Rabaah saat ia dianiaya oleh Umayyah bi Khalaf pun turut unjuk gigi menjadi tamengku. ‘Ahad.. ‘Ahadddd’…..!!
Tiba-tiba,
CKIIIIIIIIIIIITTTTTTTTTT….
[kira-kira begitu bunyinya dalam bahasa novel dan komik]
Angkot dihentikan tanpa aba-aba, direm mendadak. Diarahkan ke sisi jalan. Itu kusadari setelah kurasa badanku agak ‘melayang’, timpang, lalu berbuah ter-jedotnya kepalaku ke kaca. [sekilas laporan cuaca: Hujan saat ini masih ‘sangat’ derasnya].
Kulihat tak ada penumpang yang menunggu di sana untuk naik, hujan masih setia seperti laporan cuaca di atas, lalu sepanjang sadarku aku belum bilang "Kiri, pak Chauffeur*!", tak terdengar bunyi pecah ban, bukan pula di POM bensin, tak terjadi kecelakaan, dan kurasa tak jua ada tubuh manusia yang melayang sebab tertabrak, yang ada malah sekawanan pemuda di pinggir jalan dengan gaya yang -biasa ku cap ‘preman kota’- tengah memicingkan mata kearahku [ke angkot tepatnya],
Lha, ada apa iniiiiii?? Kok BERHENTII????!!!
Ya Allahh.. inikah sudah klimaksnya?? Endingnya?? Epilognya?? -pikirku gak pake lama.
Lalu, sedetik sebelum kuputuskan untuk ‘SL 6’ [Segera: Loncat, Lari, lalu lapor polisi lalu-lintas], suara bariton-nya sampai di cuping telingaku,
“Mbak, pindah ke depan ya, gak usah aja bayar”
Karena masih shock, sejenak aku beku, kuku-ku kaku dan ragaku gagu di tempat, menatap pak Supir -yang sedang bekerja- (eh, itu mah buat abang delman ya)- dengan pandangan kabur kekosong-kosongan,
lalu yang bisa keluar dari pita suaraku,
“Eh…???”
Dalam senyumnya yang simpul dia ulang,
“Pindah mbak,, tuh angkot yang di depan, gak usah bayar deh. Mau ke terminal kan? Dikit lagi nyampe kok. Saya mau putar.”
Setelah diulang barulah aku ‘ngeh’.
Dan saat itu pula baru aku dapati bahwa supir yang satu ini jidatnya ada tanda sujudnya, juga jenggotan, habisnya sejak awal mataku cuma nemplok dan berkisar di pintu turun saja.
Tanpa suara, segera aku pindah ke angkot yang serupa di depannya, -tadi gak keliatan mah kalo ada nih angkot ngetem di sini-,.
Amboiiii..
Kakiku semisal kapuk dalam bantal yang habis ditepuk pakai kekuatan beruk,
bak kerupuk yang sudah gak ‘kriukk’,
serasa bagai pipi ‘merah ke-ungu-unguan’ Upin-Ipin yang lebam habis kena tepukan Aka’ Ros yang teruk,
serupa dengan layunya sorot mata bujang lapuk.
Kakiku lemas minta ampun. Lesu tiada tara. Meski begitu kuat juga ia menopang tubuhku hingga mendarat dengan selamat, duduk di angkot lanjutan. Sudah banyak penumpang.
Seakan sengaja ngetem untuk menungguku, angkot segera melaju. Dan tak sampai tiga menit, terminal yang kutuju sudah di pelupuk mata. Dari sana aku naik lagi angkot cokelat tua blasteran muda keputih-putihan, no. 04, arah Pasar Minggu. Lalu dari Ps. Minggu, numpang angkot merah S 15 A, Metromini 75, dan kawan-kawannya yang biasanya kutransitkan di dekat halte Busway Jatipadang. Rentetan perjalanan ini akan memakan waktu sedikit lebih lama, jadi kugunakan saat-saat itu untuk melegakan nafas, mengurut jemari yang kupaksa kerja keras tadi, mengusap benjolan ‘indah’ di jidat, lalu kucoba melupakan ‘peristiwa mengerikan’ yang sudah kualami tadi. [tentunya kengeriannya berseliweran di alam pikiranku saja, karena nyatanya, -walhamdulillaah ‘alaa kulli haal- Allah masih menjagaku, dan semoga Ia akan selalu menjagaku,, a’uudzubikalimaatilaahit taammaati min syarri maa khalaq..]
Dan, meski Allah melindungiku dengan nyata hari ini, bukan berarti aku lantas merasa ke depannya keadaan akan selalu sama dan akhirnya menganggap remeh,. Oh, tidak. Tak peduli para supir ataupun ‘penguasa’ jalanan menganggap proteksiku terhadap diriku berlebihan, lebay, atau apalah,, mungkin dengan melihat gayaku yang ‘aneh’ menurut kebanyakan orang, -misal: bersikap awas, siaga, duduk dekat pintu, meluk ransel erat-erat, sekujur badan tak bisa di pandang kecuali apa yang kupakai untuk memandang,- aku tak perduli, Sungguh. Karena dengan bantuan Allah tentunya dan beberapa sikap dan keadaan yang kusebut di atas lah aku merasa aman.
Itu sebagian pelajaran dan hikmah yang bisa kuambil dari ‘kisah S3-ku’ ini, walau belakangan baru terasa ada sedikit yang mengganjal.
Ah ya, Pak Supir itu……
Maka dalam lirih, kukirim permintaan maaf setulusnya atas Su-udzhann-ku padanya yang overdosis tadi. Juga tak lupa ku paketkan kalimatus syukr, atas gratisan angkotnya..
“Allaahumaftah abwaaba rizqihi..”
*Ket:
(*JJ = Jidat hitam dan Jenggotan
(*Rukonwi = bukan sodaranya Pak Jokowi loh ya,. Tapi yang ini tuh ‘Rumah-Kontrakan-Syurgawi’
(* Chauffeur = Sopir, France version. Saking gimana gitunya saat itu -ceritanya- sampe bukan bahasa ibu pertiwi lagi yang keluar.
#Walillaahil Hamd.
#Ida Nahdhah, Kampus Peradaban Hidayatullah Gunung Tembak, Balikpapan KAL-TIM. 5 Rabi'ul Awwal 1434 H.