Senin, 23 Desember 2013

Siapakah Suamimu di Jannah-NYA Kelak ?


Akhowaaty muslimaat,.
Tahukah kau siapa suamimu di jannah kelak? (Jika kita smua diperkenankan oleh Allah masuk ke Jannah-NYA, aamiin y Allah_. Satu lg, sebelum berpikir masalah ini, pikirkan dulu bagaimana caranya masuk surga.. :) ). Sdikit tulisan di bawah ini akan menjawab pertanyaan antunna. Ini bukan ramalan dan bukan pula tebakan, tapi kepastian (atau minimal suatu prediksi yang insya Allah akurat), yang bersumber dari wahyu dan komentar para ulama terhadapnya. Berikut uraiannya:
*Perlu diketahui bahwa keadaan wanita di dunia, tidak lepas dari enam keadaan:
1.    Dia meninggal sebelum menikah.
2.    Dia meninggal setelah ditalak suaminya dan dia belum sempat menikah lagi sampai meninggal.
3.    Dia sudah menikah, hanya saja suaminya tidak masuk bersamanya ke dalam surga, wal’iyadzu billah…!
4.    Dia meninggal setelah menikah baik suaminya menikah lagi sepeninggalnya maupun tidak (yakni jika dia meninggal terlebih dahulu sebelum suaminya).
5.    Suaminya meninggal terlebih dahulu, kemudian dia tidak menikah lagi sampai meninggal.
6.    Suaminya meninggal terlebih dahulu, lalu dia menikah lagi setelahnya.
*Berikut penjelasan keadaan mereka masing-masing di dalam surga:
Perlu diketahui bahwa keadaan laki-laki di dunia, juga sama dengan  keadaan wanita di dunia: Di antara mereka ada yang meninggal sebelum menikah, di antara mereka ada yang mentalak istrinya kemudian meninggal dan belum sempat menikah lagi, dan di antara mereka ada yang istrinya tidak mengikutinya masuk ke dalam surga. Maka, wanita pada keadaan pertama, kedua, dan ketiga, Allah -’Azza wa Jalla- akan menikahkannya dengan laki-laki dari anak Adam yang juga masuk ke dalam surga tanpa mempunyai istri karena tiga keadaan tadi. Yakni laki-laki yang meninggal sebelum menikah, laki-laki yang berpisah dengan istrinya lalu meninggal sebelum menikah lagi, dan laki-laki yang masuk surga tapi istrinya tidak masuk surga.
Ini berdasarkan keumuman sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam hadits riwayat Muslim no. 2834 dari sahabat Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-:
مَا فِي الْجَنَّةِ أَعْزَبٌ
“Tidak ada seorangpun bujangan dalam surga”.
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin -rahimahullah- berkata dalam Al-Fatawa jilid 2 no. 177, “Jawabannya terambil dari keumuman firman Allah -Ta’ala-:
وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ. نُزُلاً مِنْ غَفُوْرٍ رَحِيْمٍ
“Di dalamnya kalian memperoleh apa yang kalian inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kalian minta. Turun dari Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Fushshilat: 31)
Dan juga dari firman Allah -Ta’ala-:
وَفِيهَا مَا تَشْتَهِيهِ الْأَنْفُسُ وَتَلَذُّ الْأَعْيُنُ وَأَنْتُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Dan di dalam surga itu terdapat segala apa yang diingini oleh hati dan sedap (dipandang) mata dan kalian kekal di dalamnya.” (Az-Zukhruf: 71)
Seorang wanita, jika dia termasuk ke dalam penghuni surga akan tetapi dia belum menikah (di dunia) atau suaminya tidak termasuk ke dalam penghuhi surga, ketika dia masuk ke dalam surga maka di sana ada laki-laki penghuni surga yang belum menikah (di dunia). Mereka -maksud ana adalah laki-laki yang belum menikah (di dunia)-, mereka mempunyai istri-istri dari kalangan bidadari dan mereka juga mempunyai istri-istri dari kalangan wanita dunia jika mereka mau. Demikian pula yang kita katakan perihal wanita jika mereka (masuk ke surga) dalam keadaan tidak bersuami atau dia sudah bersuami di dunia akan tetapi suaminya tidak masuk ke dalam surga. Dia (wanita tersebut), jika dia ingin menikah, maka pasti dia akan mendapatkan apa yang dia inginkan, berdasarkan keumuman ayat-ayat di atas”.
Dan beliau juga berkata pada no. 178, “Jika dia (wanita tersebut) belum menikah ketika di dunia, maka Allah -Ta’ala- akan menikahkannya dengan (laki-laki) yang dia senangi di surga. Maka, kenikmatan di surga, tidaklah terbatas kepada kaum lelaki, tapi bersifat umum untuk kaum lelaki dan wanita. Dan di antara kenikmatan-kenikmatan tersebut adalah pernikahan”.
Adapun wanita pada keadaan keempat dan kelima, maka dia akan menjadi istri dari suaminya di dunia.
Adapun wanita yang menikah lagi setelah suaminya pertamanya meninggal, maka ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian ulama -seperti Syaikh Ibnu ‘Ustaimin- berpendapat bahwa wanita tersebut akan dibiarkan memilih suami mana yang dia inginkan.
Ini merupakan pendapat yang cukup kuat, seandainya tidak ada nash tegas dari Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- yang menyatakan bahwa seorang wanita itu milik suaminya yang paling terakhir. Beliau -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
اَلْمَرْأَةُ لِآخِرِ أَزْوَاجِهَا
“Wanita itu milik suaminya yang paling terakhir”. (HR. Abu Asy-Syaikh dalam At-Tarikh hal. 270 dari sahabat Abu Darda` dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah: 3/275/1281)

Dan juga berdasarkan ucapan Hudzaifah -radhiyallahu ‘anhu- kepada istri beliau:
إِنْ شِئْتِ أَنْ تَكُوْنِي زَوْجَتِي فِي الْجَنَّةِ فَلاَ تُزَوِّجِي بَعْدِي. فَإِنَّ الْمَرْأَةَ فِي الْجَنَّةِ لِآخِرِ أَزْوَاجِهَا فِي الدُّنْيَا. فَلِذَلِكَ حَرَّمَ اللهُ عَلَى أَزْوَاجِ النَّبِيِّ أَنْ يَنْكِحْنَ بَعْدَهُ لِأَنَّهُنَّ أَزْوَاجُهُ فِي الْجَنَّةِ
“Jika kamu mau menjadi istriku di surga, maka janganlah kamu menikah lagi sepeninggalku, karena wanita di surga milik suaminya yang paling terakhir di dunia. Karenanya, Allah mengharamkan para istri Nabi untuk menikah lagi sepeninggal beliau karena mereka adalah istri-istri beliau di surga”. (HR. Al-Baihaqi: 7/69/13199 )
Faidah:
Dalam sholat jenazah, kita mendo’akan kepada mayit wanita:
وَأَبْدِلْهَا زَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهَا
“Dan gantilah untuknya suami yang lebih baik dari suaminya (di dunia)”.
Masalahnya, bagaimana jika wanita tersebut meninggal dalam keadaan belum menikah. Atau kalau dia telah menikah, maka bagaimana mungkin kita mendo’akannya untuk digantikan suami sementara suaminya di dunia, itu juga yang akan menjadi suaminya di surga?
Jawabannya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin -rahimahullah-. Beliau menyatakan, “Kalau wanita itu belum menikah, maka yang diinginkan adalah (suami) yang lebih baik daripada suami yang ditakdirkan untuknya seandainya dia hidup (dan menikah). Adapun kalau wanita tersebut sudah menikah, maka yang diinginkan dengan “suami yang lebih baik dari suaminya” adalah lebih baik dalam hal sifat-sifatnya di dunia (Maksudnya, suaminya sama tapi sifatnya menjadi lebih baik dibandingkan ketika di dunia.). Hal ini karena penggantian sesuatu kadang berupa pergantian dzat, sebagaimana misalnya saya menukar kambing dengan keledai. Dan terkadang berupa pergantian sifat-sifat, sebagaimana kalau misalnya saya mengatakan, “Semoga Allah mengganti kekafiran orang ini dengan keimanan”, dan sebagaimana dalam firman Allah -Ta’ala-:
يَوْمَ تُبَدَّلُ الْأَرْضُ غَيْرَ الْأَرْضِ وَالسَّمَوَاتُ 
“(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit.” (Ibrahim: 48)
Bumi (yang kedua) itu juga bumi (yang pertama) akan tetapi yang sudah diratakan, demikian pula langit (yang kedua) itu juga langit (yang pertama) akan tetapi langit yang sudah pecah”. Jawaban beliau dinukil dari risalah Ahwalun Nisa` fil Jannah karya Sulaiman bin Sholih Al-Khurosy. Wallaahu Ta'aala a'lam bish Showaab.

Minggu, 01 Desember 2013

Fenomena Istidroj

Ayat ke 44 dari surah al-An’am ini menjelaskan tentang fenomena istidroj, yakni diangkat menjadi lebih tinggi akan tetapi untuk dijatuhkan dari tempat yang lebih tinggi itu;

قال الله تعالى في قرآنه الكريم : فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ

Adakalanya ketika orang ingkar seingkar-ingkarnya, maksiat semaksiat-maksiatnya, justru malah terbuka segala pintu-pintu kesenangan bagi mereka. Tetapi ingat, hal itu tidaklah lama. Seperti yang disebutkan di dalam ayat itu selanjutnya;

حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ

"...sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam putus asa.."

Na’uudzubilaahi min dzaalik..

Ikhwah wa Akhowaty fillah,.
Ayat ini mengingatkan bahwa ada fenomena terkadang semakin maksiat seseorang, pintu-pintu kesenangan semakin mudah dia peroleh. Tetapi itu bukanlah berkah, melainkan istidroj, yakni diangkat untuk dijatuhkan dari tempat yang lebih tinggi. Kita pasti berfikir ‘kemudian bagaimana kita menjaga diri dari fenomena istidroj ini?’ karena tentu kita tidak ingin harta yang sudah kita miliki, kesehatan yang kita punyai, perolehan-perolehan yang sudah kita capai, hanya mengangkat kita untuk jatuh dari tempat yang lebih tinggi..

Ikhwah wa Akhowaty yang dirahmati oleh Allah Subhaanahu wa Ta’aala.. ada ‘ulama yang mengatakan “apabila engkau merasa rezekimu semakin banyak, kebaikan-kebaikan semakin mudah diperoleh, harta benda semakin gampang didapat, tetapi pada saat yang sama, engkau juga mengakui, menyadari, bahwa ibadahmu tidak semakin bertambah, kesholehanmu tidak semakin meningkat, ketaatanmu tidak semakin kuat, maka hati-hati, jangan-jangan semua yang diperoleh dengan mudah itu adalah istidroj. Engkau sedang diangkat tetapi untuk dijatuhkan dari tempat yang lebih tinggi”.. na’uudzubillaahi min dzaalik..

Karena itu, marilah kita bersyukur atas semua nikmat yang sudah kita miliki.. bertaubat dari kesalahan, dari dosa yang pernah atau sedang kita lakukan,. Sehingga dengan demikian, nikmat demi nikmat tadi menghantarkan kita kepada kebahagiaan hakiki, bukan mengangkat kita pada satu puncak, kemudian kita dijatuhkan dari puncak tersebut secara menyakitkan..

Semoga Allah menjadikan kita insan yang senantiasa bersyukur,. hati yang selalu bersemangat untuk taat kepada Allah Subhaanahu wa Ta’aala, jasad yang senantiasa sehat dan menggunakannya untuk amal kebaikan, serta berperan di dalam masyarakat untuk kebaikan-kebaikan kita semua..aamiin ya Mujiibas-saailiin..

[Senja di Kampus Peradaban, Ponpes Hidayatullah Pusat, Gunung Tembak Balikpapan, 17 Rabi’ul Awwal 1434 H]

Sabtu, 30 November 2013

SENJA, SANGKA-ku, dan SUPIR 'JJ'



 

Ini sekerat ceritaku di senja pekan kemarin, 26 Safar tepatnya,
  
Saat itu hujan tengah asyik masyuk bercengkerama dengan bumi persada. Kugagah-gagahkan langkah keluar dari kawasan kampus Hidayatullah Depok/Kalimulya untuk menyetop angkot, pulang ke Rukonwi*-ku di Mangga Besar. Padahal baru berselang kurang lebih setengah jam sebelumnya aku tiba di Depok, karena suatu hal yang mendesak. Lalu sekarang aku harus segera balik ke Jakarta, demi mengejar urusan yang tak kalah pentingnya juga.

Maka, seperti yang kukatakan di awal tadi, 
Meski hujan turun lima kali lipatnya gerimis,
Meski badan menggigil sebab semua yang kupakai -mulai dari kaos kaki hingga yang menggantung di depan wajah, -kuyup dengan semena-mena.
Meski kampung tengah mulai merengek minta di tunaikan haknya,
Meski kakakku -Zola Van Rooy- yang imutnya kalah semut itu memintaku untuk menginap saja di rumahnya (baca: rumah mertua_red) dengan bujukan ‘aku bawa nasi padang nih (dari kantor)’,
Dan meski aku sendiri amat sangat tertarik dan ‘fii haajatin maassah’ untuk rehat saja baru kemudian esok hari pulang,

Toh akhirnya aku tetap keukeuh pada pendirianku.

Dengan alasan yang hampir-hampir mendekati 1000 (dengan nol yang dikurang dua), aku berkelit sembari menguatkan hati dan pendirian juga berpaling dengan tegas dari bungkusan masakan Padang itu. Mau pagi-pagi benar ke kampus lah, mau nyuci seabrek-abrek lah, mau jenguk teman yang lahiran-lah, mau ngepakin barang-lah, (dan setelah semua nanti kulakukan), mau ke Tanah Abang lah,. [point yang terakhir ini agaknya harus dilakukan padanya jarh wat ta’dil dulu]

Panjang kata, aku harus pulang sore ini juga.

Lalu, setelah sempat menikmati sensasi ‘doremifasol menggemetarkan’ -[setingkat di atasnya menggetarkan]- dari hujan di pinggir jalan dekat plang pesantren _tak lama, cuma sekitar 10 menit-an_ terlihat angkot biru tua D 10 yang akan kunaiki merayap dari arah Pasar Pucung.

Bismillaahi tawakkaltu ‘alAllah...

Setelah naik, ternyata sepi penumpang. Ganjil pula. Cuma aku, seorang Ibu muda kantoran, dan supir angkot -yang tak kuamati bagaimana rupanya-.

Angkot melaju. Curah hujan makin ramai saja mengetuk kaca jendela. Angin juga tanpa malu-malu menyapa mesra. Rasa menggigil naik hingga stadium 4,5 x 15500 [silahkan dihitung sendiri],
Yang kusyukuri, meski hujan melulu seharian- jalan tak membebek ataupun meng-ular seperti biasanya. Alias gak macet. Aku bernafas lega.

Beberapa menit setelah angkot yang kutumpangi jalan, Ibu muda itu akhirnya bersuara ‘Kiri, Mas!’
Lalu sudah tentu, ia pun turun sambil mengembangkan -sayap- payung pink-nya.

Tinggallah aku yang merana. Nelangsa. Seperti anak ayam yang hendak dimangsa. Ketakutan. Panik. Pucat. Pasi. Pias. [tahu sajalah, aku ‘bagaimana’. Riwayatku -selama 20 tahun kurang lebih menjalani hari-hari di Balikpapan- menyebutkan bahwa tak pernah sekalipun aku melanglang buana ke luar kawasan Pesantren, tanpa tangan ayah dalam genggaman-super erat-ku. Atau tanpa pengawalan beberapa ummahat atau kawan yang mutazawwijaat, atau mahramku -abang maupun adik- selalu saja ada orang lain yang bersamaku. Selain pertimbangan syari’at, aku memang penakut sekali. Nah, kebalikannya saat sekarang ini. Aku ada disini -ibukota- karena menuntut ilmu-ilmu yang ada di dalamnya, maka ia pun balik menuntutku untuk berani dan mandiri, meski bukan juga selalunya wara wiri kesana kemari seorang diri, tapi tak bisa dipungkiri, ada saja keadaan darurat yang menjadikannya seperti saat -dalam kisah- ini. Kini, aku sendiri dalam angkot sebagai penumpang. -dalam ukuran manusia, karena yakinku; Allah bersamaku, selalu).

Itulah, yang begini ini yang dulu tak pernah ada dalam riwayat hidupku ataupun sekedar terlintas di pikiranku.

Sendiri! Di angkot!

Tak ada penumpang lain dari mereka yang kukenal ataupun orang yang tak kukenal. Nihil. Dan ini Jakarta, aku tak bilang disini tempatnya segala macam kengerian dan kekerasan, tapi ia memang ma’ruf dalam hal itu.
Mau dibilang manusia sendiri dalam angkot, tidak juga. Berdua dengan supir. Bedanya aku di bagian belakang, dia di belakangnya stir. Ah, tapi itu sama sekali tak membantu. Yang ada malah hanya membuatku semakin merapat ke arah pintu turun, [ancang-ancang, biar lebih mudah untuk loncat keluar kalau-kalau terjadi apa-apa, #semoga itu tidak pernah terjadi, na’uudzubillaahi min dzaalik].

Dalam urusan yang begini memang aku bisa dibilang sangat-sangat penakut. Tapi itu juga ada alasannya. Bukan serta merta timbul tanpa sebab. Tidak lantas begitu saja ada dalam alam atas pun bawah sadarku.

Bagaimana aku bisa tenang, duduk manis, melipat tangan atau menyandarkan kepala dengan kalem, lebih-lebih pejam mata [mengganti beberapa tidur siang-malam yang tak terpenuhi dengan baik, -dicuri oleh siap siagaku buat bekal ikhtibar niha`iy, oleh perampungan makalah yang sudah tentu SKS, aktifitas baca-baca, dan lain-lain yang tak perlu disebut disini] -sedang tiap hari yang kusaksikan di dunia berita, realita, maupun maya selalunya didominasi oleh kekerasan. Baik itu kekerasan di angkot, jalan, pasar, rumah, gang, sekolah, kampus, baik itu berupa pencurian, penjambretan, penodongan, pembunuhan, penipuan, dan yang paling membuatku bergidik dan selalu kupinta pada Allah untuk melindungiku dari hal keji ini, ‘Intihaaku hurmatil mar`ah’ [sengaja pake bahasa Arab, lebih ‘manusiawi’ di telinga, bagiku. Meski esensinya ya sama saja.]
Semua jenis kejahatan di atas selalu menghantuiku. Tapi yang kusebut di akhir itu yang paling. Lebih. Dan sangat. Asyaddusy-Syadaa-id..! Dan yang sedang dan sempat marak beritanya di media, itu terjadi di angkot.

Maka mulailah aku berspekulasi dan berimajinasi yang tidak-tidak.

“Ya Robbyy.. bagaimana kalau supir ini banting stir, lantas membawa angkotnya melaju ke arah lain DENGAN aku yang -ada- di dalamnya???”

“Atau mungkin tiba-tiba angkot ini dimasuki oleh orang-orang yang punya niatan buruk, lalu mereka bersekongkol dengan supir ini??”

“ Ataukah..?”

“….atau..??”

Semakin berentetan dugaku, semakin melenceng pula gaya dudukku dari posisi semestinya. Tak kupikirkan sudah bagaimana anehnya model dudukku jika ada yang [sempat-sempatnya] merhatiin. Yang penting aku ‘PW’ (posisi wuenak), semakin mantap menghadap pintu keluar angkot. Tatapanku pun lurus-menyamping. [maksudnya?? Iya, karena pintu angkot di samping
Oho, bayarannya tentu saja mahal. Bisa dipastikan tanganku harus terus berpegang sekeras ‘azzam dan tenaga (sekuat yang kupunya) pada kayu kursi yang kududuki juga pada batang pintu, -kalau tidak, bisa dengan mudah badanku yang agak-agaknya bisa dikali tiga [atau 4?] dengan badan Ade ray ini akan nyusruk terpuruk ke pinggir jalanan yang ‘becek gak ada ojek’ di luar sana. Kalo itu nyang kejadian, laen lagi pan ceritanye. Berabe dah.

Keadaanku saat di angkot ini, setali tiga uang dengan kondisiku saat kali pertama naik pesawat. [Asia Air, 2006, takkan kulupa, zaman aku masih putih abu-abu, unyu-unyu deh pokoknya. #setuju aja lah..- Waktu itu kami menghadiri pernikahan kakakku, di Jakarta juga]. Di angkot kali ini pun begitu. Meski tentu derajat keparahannya dan ke’norak’annya jauh di atas peristiwa NPP alias ‘Naek Pesawat Perdana’ itu. Kalau di pesawat dulu bacaan do’a semua agama _yang disediakan di kantung kursi_ yang kugenggam erat, walau cuma satu yang kubaca dan kuhayati.

Tapi kali ini tidaklah sama. Angkot mah gak nyiapin buku panduan..yang ada hanya iklan-iklan berbagai rupa macam dan isinya yang di sematkan asal-asalan di pintu. Meski begitu bibir terus berbisik dan hati sedikitpun tak diam, [‘lewaat’ dah mbah dukun yang lagi komat kamit baca mantra], aku terus melafadz zikir, do’a, [mau itu do’a yang resmi ataupun ratapan plus jeritan nuraniku pada Allah -versi Arabic juga- yang kukarang-karang sendiri, jadi di tempat. Agak-agak acakadut dan semrawut mungkin, sebabnya fushhah banget juga nggak, bukan pula ammiyah, dari segi “ittishaalul kalimaat wal ma’na” lebih-lebih lagi. Pokoknya ustadz/ah ta’bir, qawaidh, dan adabku-lah yang bisa tahu bagaimana rupanya] pun al-Ma’tsurat shobaahan wa masaa-an, kulahap hingga tak bersisa. Pokoknya semua kutumpah-ruahkan. Kusedu-sedankan. Kupadu-padankan. Detik-detik selanjutnya rintihan Sahabat -Radhiyallaahu ‘anh- Bilal bin Rabaah saat ia dianiaya oleh Umayyah bi Khalaf pun turut unjuk gigi menjadi tamengku. ‘Ahad.. ‘Ahadddd’…..!!

Tiba-tiba,

CKIIIIIIIIIIIITTTTTTTTTT….!!!!!!!!!!!!!!!!!

[kira-kira begitu bunyinya dalam bahasa novel dan komik]

Angkot dihentikan tanpa aba-aba, direm mendadak. Diarahkan ke sisi jalan. Itu kusadari setelah kurasa badanku agak ‘melayang’, timpang, lalu berbuah ter-jedotnya kepalaku ke kaca. [sekilas laporan cuaca: Hujan saat ini masih ‘sangat’ derasnya].

Kulihat tak ada penumpang yang menunggu di sana untuk naik, hujan masih setia seperti laporan cuaca di atas, lalu sepanjang sadarku aku belum bilang "Kiri, pak Chauffeur*!", tak terdengar bunyi pecah ban, bukan pula di POM bensin, tak terjadi kecelakaan, dan kurasa tak jua ada tubuh manusia yang melayang sebab tertabrak, yang ada malah sekawanan pemuda di pinggir jalan dengan gaya yang -biasa ku cap ‘preman kota’- tengah memicingkan mata kearahku [ke angkot tepatnya],

Lha, ada apa iniiiiii?? Kok BERHENTII????!!!

Ya Allahh.. inikah sudah klimaksnya?? Endingnya?? Epilognya?? -pikirku gak pake lama.



Lalu, sedetik sebelum kuputuskan untuk ‘SL 6’ [Segera: Loncat, Lari, lalu lapor polisi lalu-lintas], suara bariton-nya sampai di cuping telingaku,



“Mbak, pindah ke depan ya, gak usah aja bayar”


Karena masih shock, sejenak aku beku, kuku-ku kaku dan ragaku gagu di tempat, menatap pak Supir -yang sedang bekerja- (eh, itu mah buat abang delman ya)- dengan pandangan kabur kekosong-kosongan,

lalu yang bisa keluar dari pita suaraku,


“Eh…???”

Dalam senyumnya yang simpul dia ulang,
“Pindah mbak,, tuh angkot yang di depan, gak usah bayar deh. Mau ke terminal kan? Dikit lagi nyampe kok. Saya mau putar.”

Setelah diulang barulah aku ‘ngeh’.

Dan saat itu pula baru aku dapati bahwa supir yang satu ini jidatnya ada tanda sujudnya, juga jenggotan, habisnya sejak awal mataku cuma nemplok dan berkisar di pintu turun saja.

Tanpa suara, segera aku pindah ke angkot yang serupa di depannya, -tadi gak keliatan mah kalo ada nih angkot ngetem di sini-,.

Amboiiii..
Kakiku semisal kapuk dalam bantal yang habis ditepuk pakai kekuatan beruk,
bak kerupuk yang sudah gak ‘kriukk’,
serasa bagai pipi ‘merah ke-ungu-unguan’ Upin-Ipin yang lebam habis kena tepukan Aka’ Ros yang teruk,
serupa dengan layunya sorot mata bujang lapuk.

Kakiku lemas minta ampun. Lesu tiada tara. Meski begitu kuat juga ia menopang tubuhku hingga mendarat dengan selamat, duduk di angkot lanjutan. Sudah banyak penumpang.

Seakan sengaja ngetem untuk menungguku, angkot segera melaju. Dan tak sampai tiga menit, terminal yang kutuju sudah di pelupuk mata. Dari sana aku naik lagi angkot cokelat tua blasteran muda keputih-putihan, no. 04, arah Pasar Minggu. Lalu dari Ps. Minggu, numpang angkot merah S 15 A, Metromini 75, dan kawan-kawannya yang biasanya kutransitkan di dekat halte Busway Jatipadang. Rentetan perjalanan ini akan memakan waktu sedikit lebih lama, jadi kugunakan saat-saat itu untuk melegakan nafas, mengurut jemari yang kupaksa kerja keras tadi, mengusap benjolan ‘indah’ di jidat, lalu kucoba melupakan ‘peristiwa mengerikan’ yang sudah kualami tadi. [tentunya kengeriannya berseliweran di alam pikiranku saja, karena nyatanya, -walhamdulillaah ‘alaa kulli haal- Allah masih menjagaku, dan semoga Ia akan selalu menjagaku,, a’uudzubikalimaatilaahit taammaati min syarri maa khalaq..]

Dan, meski Allah melindungiku dengan nyata hari ini, bukan berarti aku lantas merasa ke depannya keadaan akan selalu sama dan akhirnya menganggap remeh,. Oh, tidak. Tak peduli para supir ataupun ‘penguasa’ jalanan menganggap proteksiku terhadap diriku berlebihan, lebay, atau apalah,, mungkin dengan melihat gayaku yang ‘aneh’ menurut kebanyakan orang, -misal: bersikap awas, siaga, duduk dekat pintu, meluk ransel erat-erat, sekujur badan tak bisa di pandang kecuali apa yang kupakai untuk memandang,- aku tak perduli, Sungguh. Karena dengan bantuan Allah tentunya dan beberapa sikap dan keadaan yang kusebut di atas lah aku merasa aman.

Itu sebagian pelajaran dan hikmah yang bisa kuambil dari ‘kisah S3-ku’ ini, walau belakangan baru terasa ada sedikit yang mengganjal.



Ah ya, Pak Supir itu……

Maka dalam lirih, kukirim permintaan maaf setulusnya atas Su-udzhann-ku padanya yang overdosis tadi. Juga tak lupa ku paketkan kalimatus syukr, atas gratisan angkotnya..
“Allaahumaftah abwaaba rizqihi..”



*Ket:
(*JJ = Jidat hitam dan Jenggotan
(*Rukonwi = bukan sodaranya Pak Jokowi loh ya,. Tapi yang ini tuh ‘Rumah-Kontrakan-Syurgawi’. [menurut pengakuan penghuninya^^].
(* Chauffeur = Sopir, France version. Saking gimana gitunya saat itu -ceritanya- sampe bukan bahasa ibu pertiwi lagi yang keluar.

#Walillaahil Hamd.


#Ida Nahdhah, Kampus Peradaban Hidayatullah Gunung Tembak, Balikpapan KAL-TIM. 5 Rabi'ul Awwal 1434 H.