Akhowaaty muslimaat,.
Tahukah kau siapa suamimu di jannah kelak? (Jika kita smua diperkenankan oleh Allah
masuk ke Jannah-NYA, aamiin y Allah_. Satu lg, sebelum berpikir masalah ini,
pikirkan dulu bagaimana caranya masuk surga.. :) ). Sdikit tulisan di bawah ini
akan menjawab pertanyaan antunna. Ini bukan ramalan dan bukan pula tebakan,
tapi kepastian (atau minimal suatu prediksi yang insya Allah akurat), yang
bersumber dari wahyu dan komentar para ulama terhadapnya. Berikut uraiannya:
*Perlu
diketahui bahwa keadaan wanita di dunia, tidak lepas dari enam keadaan:
1.
Dia meninggal sebelum menikah.
2.
Dia meninggal setelah ditalak suaminya dan dia belum sempat menikah lagi
sampai meninggal.
3.
Dia sudah menikah, hanya saja suaminya tidak masuk bersamanya ke dalam
surga, wal’iyadzu billah…!
4.
Dia meninggal setelah menikah baik suaminya menikah lagi sepeninggalnya
maupun tidak (yakni jika dia meninggal terlebih dahulu sebelum suaminya).
5.
Suaminya meninggal terlebih dahulu, kemudian dia tidak menikah lagi
sampai meninggal.
6.
Suaminya meninggal terlebih dahulu, lalu dia menikah lagi setelahnya.
*Berikut
penjelasan keadaan mereka masing-masing di dalam surga:
Perlu
diketahui bahwa keadaan laki-laki di dunia, juga sama dengan keadaan
wanita di dunia: Di antara mereka ada yang meninggal sebelum menikah, di antara
mereka ada yang mentalak istrinya kemudian meninggal dan belum sempat menikah
lagi, dan di antara mereka ada yang istrinya tidak mengikutinya masuk ke dalam
surga. Maka, wanita pada keadaan pertama, kedua, dan ketiga, Allah -’Azza wa
Jalla- akan menikahkannya dengan laki-laki dari anak Adam yang juga masuk ke
dalam surga tanpa mempunyai istri karena tiga keadaan tadi. Yakni laki-laki
yang meninggal sebelum menikah, laki-laki yang berpisah dengan istrinya lalu
meninggal sebelum menikah lagi, dan laki-laki yang masuk surga tapi istrinya
tidak masuk surga.
Ini
berdasarkan keumuman sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam hadits
riwayat Muslim no. 2834 dari sahabat Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-:
مَا فِي الْجَنَّةِ أَعْزَبٌ
“Tidak ada
seorangpun bujangan dalam surga”.
Syaikh Ibnu
‘Utsaimin -rahimahullah- berkata dalam Al-Fatawa jilid 2 no. 177, “Jawabannya
terambil dari keumuman firman Allah -Ta’ala-:
وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ
فِيهَا مَا تَدَّعُونَ. نُزُلاً مِنْ غَفُوْرٍ رَحِيْمٍ
“Di dalamnya
kalian memperoleh apa yang kalian inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya
apa yang kalian minta. Turun dari Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Fushshilat: 31)
Dan juga
dari firman Allah -Ta’ala-:
وَفِيهَا مَا تَشْتَهِيهِ الْأَنْفُسُ وَتَلَذُّ الْأَعْيُنُ
وَأَنْتُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Dan di
dalam surga itu terdapat segala apa yang diingini oleh hati dan sedap
(dipandang) mata dan kalian kekal di dalamnya.” (Az-Zukhruf: 71)
Seorang
wanita, jika dia termasuk ke dalam penghuni surga akan tetapi dia belum menikah
(di dunia) atau suaminya tidak termasuk ke dalam penghuhi surga, ketika dia
masuk ke dalam surga maka di sana ada laki-laki penghuni surga yang belum
menikah (di dunia). Mereka -maksud ana adalah laki-laki yang belum menikah (di
dunia)-, mereka mempunyai istri-istri dari kalangan bidadari dan mereka juga
mempunyai istri-istri dari kalangan wanita dunia jika mereka mau. Demikian pula
yang kita katakan perihal wanita jika mereka (masuk ke surga) dalam keadaan
tidak bersuami atau dia sudah bersuami di dunia akan tetapi suaminya tidak
masuk ke dalam surga. Dia (wanita tersebut), jika dia ingin menikah, maka pasti
dia akan mendapatkan apa yang dia inginkan, berdasarkan keumuman ayat-ayat di
atas”.
Dan beliau
juga berkata pada no. 178, “Jika dia (wanita tersebut) belum menikah ketika
di dunia, maka Allah -Ta’ala- akan menikahkannya dengan (laki-laki) yang dia
senangi di surga. Maka, kenikmatan di surga, tidaklah terbatas kepada kaum
lelaki, tapi bersifat umum untuk kaum lelaki dan wanita. Dan di antara
kenikmatan-kenikmatan tersebut adalah pernikahan”.
Adapun
wanita pada keadaan keempat dan kelima, maka dia akan menjadi istri dari
suaminya di dunia.
Adapun
wanita yang menikah lagi setelah suaminya pertamanya meninggal, maka ada
perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian ulama -seperti Syaikh Ibnu
‘Ustaimin- berpendapat bahwa wanita tersebut akan dibiarkan memilih suami mana
yang dia inginkan.
Ini
merupakan pendapat yang cukup kuat, seandainya tidak ada nash tegas dari
Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- yang menyatakan bahwa seorang wanita
itu milik suaminya yang paling terakhir. Beliau -Shallallahu ‘alaihi wasallam-
bersabda:
اَلْمَرْأَةُ لِآخِرِ أَزْوَاجِهَا
“Wanita itu
milik suaminya yang paling terakhir”. (HR. Abu Asy-Syaikh dalam At-Tarikh hal. 270 dari
sahabat Abu Darda` dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah:
3/275/1281)
Dan juga
berdasarkan ucapan Hudzaifah -radhiyallahu ‘anhu- kepada istri beliau:
إِنْ شِئْتِ أَنْ تَكُوْنِي زَوْجَتِي فِي الْجَنَّةِ
فَلاَ تُزَوِّجِي بَعْدِي. فَإِنَّ الْمَرْأَةَ فِي الْجَنَّةِ لِآخِرِ
أَزْوَاجِهَا فِي الدُّنْيَا. فَلِذَلِكَ حَرَّمَ اللهُ عَلَى أَزْوَاجِ
النَّبِيِّ أَنْ يَنْكِحْنَ بَعْدَهُ لِأَنَّهُنَّ أَزْوَاجُهُ فِي الْجَنَّةِ
“Jika kamu
mau menjadi istriku di surga, maka janganlah kamu menikah lagi sepeninggalku,
karena wanita di surga milik suaminya yang paling terakhir di dunia. Karenanya,
Allah mengharamkan para istri Nabi untuk menikah lagi sepeninggal beliau karena
mereka adalah istri-istri beliau di surga”. (HR. Al-Baihaqi: 7/69/13199 )
Faidah:
Dalam sholat
jenazah, kita mendo’akan kepada mayit wanita:
وَأَبْدِلْهَا زَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهَا
“Dan
gantilah untuknya suami yang lebih baik dari suaminya (di dunia)”.
Masalahnya,
bagaimana jika wanita tersebut meninggal dalam keadaan belum menikah. Atau
kalau dia telah menikah, maka bagaimana mungkin kita mendo’akannya untuk
digantikan suami sementara suaminya di dunia, itu juga yang akan menjadi
suaminya di surga?
Jawabannya
adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin -rahimahullah-.
Beliau menyatakan, “Kalau wanita itu belum menikah, maka yang diinginkan adalah
(suami) yang lebih baik daripada suami yang ditakdirkan untuknya seandainya dia
hidup (dan menikah). Adapun kalau wanita tersebut sudah menikah, maka yang
diinginkan dengan “suami yang lebih baik dari suaminya” adalah lebih baik dalam
hal sifat-sifatnya di dunia (Maksudnya, suaminya sama tapi sifatnya menjadi
lebih baik dibandingkan ketika di dunia.). Hal ini karena penggantian sesuatu kadang
berupa pergantian dzat, sebagaimana misalnya saya menukar kambing dengan
keledai. Dan terkadang berupa pergantian sifat-sifat, sebagaimana kalau
misalnya saya mengatakan, “Semoga Allah mengganti kekafiran orang ini dengan
keimanan”, dan sebagaimana dalam firman Allah -Ta’ala-:
يَوْمَ تُبَدَّلُ الْأَرْضُ غَيْرَ الْأَرْضِ
وَالسَّمَوَاتُ
“(Yaitu)
pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula)
langit.” (Ibrahim:
48)
Bumi (yang
kedua) itu juga bumi (yang pertama) akan tetapi yang sudah diratakan, demikian
pula langit (yang kedua) itu juga langit (yang pertama) akan tetapi langit yang
sudah pecah”. Jawaban beliau dinukil dari risalah Ahwalun Nisa` fil Jannah
karya Sulaiman bin Sholih Al-Khurosy. Wallaahu Ta'aala a'lam bish Showaab.