PENDAHULUAN
Islam merupakan salah satu agama yang masuk dan
berkembang di Indonesia. Hal ini tentu bukanlah sesuatu yang asing bagi kita, karena
di media massa mungkin kita sudah sering mendengar atau membaca bahwa Indonesia
adalah negara yang memiliki penganut agama Islam terbesar di dunia. Suatu hal yang dapat dikemukakan
bahwa masuknya Islam ke Indonesia tidaklah bersamaan, ada daerah-daerah yang
sejak dini telah dimasuki oleh Islam, di samping ada daerah yang terbelakang
dimasuki Islam. Berkenaan dengan ini telah disepakati bersama oleh sejarawan Islam
bahwa Islam pertama kali masuk ke Indonesia adalah di Sumatera. Kedatangan Islam
ke Indonesia itu sendiri terjadi melalui kegiatan perdagangan yang ditempuh
dengan proses yang sangat panjang sampai terbentuknya masyarakat muslim.
Masuknya Islam membawa perubahan di berbagai bidang di Indonesia, yang di antaranya adalah bidang seni budaya Islam
dan Pendidikan Islam, yang akan pemakalah coba uraikan berikut ini;
A.
Perkembangan Seni Budaya Islam di Indonesia
Kesenian Islam Indonesia sebenarnya sangat minim bila dibandingkan
dengan kesenian Islam di Negara lain, sebut saja kerajaan Mughal di India yang
sampai sekarang masih memiliki simbol-simbol kebesaran arsitektur Islam seperti
Taj Mahal. Hal ini disebabkan
Islam masuk ke Indonesia dengan jalan damai sehingga seni Islam harus
menyesuaikan diri dengan kebudayaan lama, dan Nusantara adalah negeri yang
merupakan jalur perdagangan internasional, sehingga penduduknya lebih
mementingkan masalah perdagangan daripada kesenian. Umat Islam Indonesia dalam hal seni Islam memang hanya menjadi
pengikut, tidak pernah menjadi pemimpin.
Keseniannya sangat sederhana dan miskin. Kekuatan himmah seperti yang
mendorong muslim di Negara lain untuk menciptakan pekerjaan besar, tidak muncul
di Indonesia. Kalaupun muncul, biasanya berasal dari pengaruh luar atau peniruan tidak
lengkap. Walaupun demikian, Islam datang ke nusantara membawa tamaddun
(kemajuan) dan kecerdasan.[1]
Ada beberapa sebab
mengapa hal tersebut terjadi[2] :
1. Islam yang datang ke Indonesia secara besar-besaran, kira-kira abad ke-
13 M, adalah akibat arus balik dampak kehancuran Baghdad. Dengan demikian, umat
Islam yang datang pada hakikatnya adalah para pedagang atau elit bangsawan atau
ulama-ulama penyebar agama Islam yang ingin mencari keselamatan dari kehancuran
wilayah timur tengah karna adanya perang Mongol pimpinan Hulagu.
2. Di Indonesia, terutama Jawa, ketika Islam datang sudah memiliki
peradaban asli yang dipengaruhi Hindu
Budha yang sudah mengakar kuat terutama di pusat pemerintahan, maka seni Islam
harus menyesuaikan diri.
3.
Umat Islam yang datang ke Indonesia
mayoritas adalah pedagang (orang sipil, bukan pejabat pemerintah) yang tentu
orientasinya adalah datang untuk sementara dan untuk mencari keuntungan untuk
dibawah ke negrinya. Datang untuk
sementara inilah yang menyababkan mereka mencari hal-hal yang praktis. Kalaupun
ada ulama atau sufi yang datang untuk berdakwah, mereka juga sufi pengembara yang pergi
berdakwah dari satu tempat ke tempat lain, sehingga tidak terpikir untuk
membuat sesuatu yang abadi.
4.
Ketika
sudah ada umat Islam pribumi, kebanyakan keturunan pedagang atau sufi
pengembara yang kemudian menjadi raja Islam di Nusantara dan mulai membangun
kebudayaan Islam ,datang bangsa Barat yang sejak awal kedatangannya sudah
bersikap memusuhi umat Islam (sisa-sisa dendam Perang Salib) sehingga raja-raja
Islam pribumi belum sempat membangun.
5.
Islam
yang datang ke Indonesia coraknya adalah Islam tasawuf yang lebih mementingkan
olah rohani daripada masalah duniawi.
6.
Nusantara
adalah negeri yang merupakan jalur perdagangan internasional, sehingga
penduduknya lebih mementingkan masalah perdagangan daripada kesenian.
7.
Islam
datang ke Indonesia dengan jalan damai, maka terjadilah asimilasi yaitu asal
tidak melanggar aturan-aturan agama. Oleh sebab itu, tidak heran jika aspek
seni budaya Islam Indonesia tidak hebat seperti di Negara Islam yang lain.
Kesenian-kesenian
Islam yang ada di Indonesia adalah sebagai berikut;
1.
Batu
Nisan
Kebudayaan Islam dalam bidang seni mula-mula
masuk ke Indonesia dalam bentuk batu nisan. Di Pasai masih dijumpai batu nisan
makam Sultan Malik al-Saleh yang wafat tahun 1292.[3]
Hal yang dapat dicermati pada batu nisan ini dan merupakan indikator Persia
yakni aksara yang dipahatkan pada batu nisan merupakan aksara shulus yang
cirinya berbentuk segitiga pada bagian ujung. Gaya aksara jenis ini berkembang
di Persia sebagai suatu karyaseni kaligrafi.[4] Batu nisan Sultan Malik as-Saleh terdiri dari pualam putih
yang di ukir dengan tulisan Arab yang sangat indah berisikan ayat al-Qur`an dan
keterangan tentang orang yang dimakamkan serta hari dan tahun wafatnya.
Makam-makam yang serupa dijumpai pula di Jawa, seperti makam Maulana Malik
Ibrahim di Gresik.[5]
Indikator Persia lain ditemukan pada batu
nisan Na‘ina Husam al-Din berupa kutipan syair yang ditulis penyair kenamaan
Persia, Syaikh Muslih al-din Sa‘di (1193-1292 Masehi). Ditulis dalam bahasa
Persia dengan aksara Arab. Batu nisan ini bentuknya indah dengan hiasan pohon
yang distilir (disamarkan) dan hiasan-hiasan kaligrafi yang berisikan kutipan
syair Persia dan kutipan al‘Quran II: 256 ayat Kursi.[6]
Terkadang nisan-nisan ini juga dipahatkan di atasnya kalimat-kalimat
bernafaskan sufi, misalnya “Sesungguhnya dunia ini fana, dunia ini tidaklah
kekal, sesungguhnya dunia ini ibarat sarang laba-laba”, dan lain
sebagainya.[7]
Meskipun pada umumnya nisan yang kebanyakan dipesan dari gujarat
ini bercorak persia, namun bentuk-bentuk nisan kemudian hari tidak selalu
demikian. Pengaruh kebudayaan setempat sering mempengaruhi, sehingga ada yang
bentuknya teratai, keris, atau bentuk gunungan seperti gunungan pewayangan. Namun, kebudayaan nisan ini tidak berkembang
lebih lanjut.[8]
2.
Perkembangan
Aksara dan Seni Sastra (Kesusastraan)
Masuknya agama dan budaya Islam di Indonesia
sangat berpengaruh terhadap perkembangan seni aksara dan seni sastra di
Nusantara. Aksara dan seni sastra Islam pada awal perkembangannya banyak
dijumpai di wilayah sekitar selat Malaka dan Pulau Jawa, walaupun jumlah karya
sastra dan bentuknya sangat terbatas.
a.
Aksara masa awal Islam
Tersebarnya
agama Islam ke Indonesia maka berpengaruh terhadap bidang aksara atau tulisan,
yaitu masyarakat mulai mengenal tulisan Arab, bahkan berkembang tulisan Arab
Melayu. Di samping itu juga, huruf Arab berkembang menjadi seni kaligrafi yang
banyak digunakan sebagai motif hiasan ataupun ukiran.
Penulis aksara-aksara (huruf-huruf) Arab di
Indonesia, biasanya dipadukan dengan seni jawa yang dimiliki oleh bangsa
Indonesia.[9]
Huruf-huruf Arab yang tertulis dengan sangat indah itu disebut dengan seni
kaligrafi (seni Khat). Seperti juga jenis karya seni rupa Islam lainnya,
perkembangan seni kaligrafi Arab di Indonesia kurang begitu pesat, apalagi
dibandingkan dengan negara-negara lain. Pernah pada awal kedatangannya
digunakan untuk mengukir nama dan menulis ayat al-Qur’an di makam-makam
terkenal, seperti makam wali Maulana Malik Ibrahim di Gresik dan makam Raja
Pasai. Di makam itu ditulis dengan huruf Arab yang Indah, seperti nama, hari,
dan tahun wafat serta ayat-ayat al-Qur’an. Namun, kelanjutan seni kaligrafi
tidak terlalu berkembang karena penerapan kaligrafi Arab sebagai hiasan sangat
terbatas.[10]
Hal ini disebabkan oleh hal-hal sebab berikut :
·
Penggunaan seni kaligrafi Arab sebagai hiasan
di Indonesia masih sangat terbatas.
·
Bangunan-bangunan kuno pada permulaan
berdirinya Kerajaan Islam kurang memberi peluang bagi penerapan seni kaligrafi.
·
Bangunan masjid-masjid kuno seperti masjid
Banten, Cirebon, Demak dan Kudus kurang
memperhatikan penggunaan Seni Kaligrafi Arab.
Seni Kaligrafi hadir dengan kondisi yang kurang
menguntungkan, tetapi dapat dikatakan tetap ada perkembangan, ini bisa dilihat
dari kitab-kitab bacaan yang agak berkembang di Aceh dan kerajaan-kerajaan Islam
lain yang ulamanya banyak menulis kitab-kitab agama. Ini bersamaan dengan
berkembangnya seni sastra Islam berupa sya’ir-sya’ir dan penulisan kitab-kitab
keagamaan.[11]
Selain itu juga karena seni kaligrafi tetap diperlukan untuk berbagai macam
keperluan seperti :[12]
·
Untuk hiasan pada bangunan-bangunan masjid.
·
Untuk motif hiasan batik.
·
Untuk hiasan pada keramik.
·
Untuk hiasan pada keris.
·
Untuk hiasan pada batu nisan dan,
·
Untuk hiasan pada dinding rumah
Sampai saat sekarang seni kaligrafi berkembang
di Indonesia, terutama dalam seni ukir. Seni ukir kaligrafi ini dikembangkan
oleh masyarakat dari Jepara.
b.
Seni sastra awal masa Islam
Sebagaimana
halnya Hindu-Buddha, Islam pun memberi pengaruh terhadap seni sastra nusantara.
Sastra yang dipengaruhi Islam ini terutama berkembang di daerah sekitar Selat
Malaka (daerah melayu) dan Jawa. Di sekitar Selat Malaka merupakan perkembangan
baru, sementara di Jawa merupakan kembangan dari sastra Hindu-Buddha.
Seni sastra yang berkembang pada awal periode Islam adalah seni sastra
yang berasal dari perpaduan sastra pengaruh Hindu – Budha dan sastra Islam yang
banyak mendapat pengaruh Persia. Dengan demikian wujud akulturasi dalam seni
sastra tersebut terlihat dari tulisan/ aksara yang dipergunakan yaitu
menggunakan huruf Arab Melayu (Arab Gundul) dan isi ceritanya juga ada yang
mengambil hasil sastra yang berkembang pada jaman Hindu.[13]
Seni
sastra zaman Islam yang berkembang di Indonesia yang mendapat pengaruh dari
Persia, seperti cerita-cerita tentang Amir Hamzah, Kalilah dan Dimnah, Bayan
Budiman, Kisah 1001 malam (alf lailah wa lailah), dan Abu Nawas. Hampir
semua cerita salinan itu dinamakan hikayat dan dimulai dengan nama Allah dan
shalawat nabi. Kebanyakan hikayat ini tidak diketahui penyalinnya. Sementara
seni sastra yang masih dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu-Budha seperti Hikayat Pandawa Lima, Hikayat Sri Rama. Selain itu, kesusastraan Islam Indonesia
adalah syair, di antara yang terkenal adalah syair sufi yang dikarang oleh
Hamzah Fansuri, seperti syair perahu. Syair lain sama saja, tidak diketahui
pengarangnya.[14]
Karya-karya sastra bentuk prosa dari
Persia sampai pengaruhnya kepada kesusasteraan Indonesia misalnya kitab Menak
yang ditulis dalam bahasa dan aksara Jawa yang semula ceritera dari Persia.
Dalam bahasa Melayu menjadi Hikayat Amir Hamzah. Kitab Menak pada dasarnya
serupa dengan kitab Panji, perbedaannya terletak pada tokoh-tokoh pemerannya.
Ceritera-ceritera Menak dalam arti Hikayat Amir Hamzah, biasanya ditampilkan
pula dalam pertunjukan wayang golek yang konon diciptakan oleh Sunan Kudus,
wayang kulit diciptakan oleh Sunan Kalijaga, dan wayang gedog diciptakan oleh
Sunan Giri. Ceritera Menak jumlahnya tidak sedikit, misalnya kitab Rengganis
yang banyak digemari oleh masyarakat Sasak di Lombok dan Palembang.[15]
Hasil kesusastraan lain yang mendapat
pengaruh Syi‘ah adalah Kisah Muhammad Hanafiah, mengisahkan pertempuran Hassan
dan Husein, anak-anak Khalifah Ali, di medan perang Karbala. Ditulis dan
diterjemahkan dalam bahasa Melayu pada sekitar abad ke-15 Masehi. Hikayat Amir
Hamzah, merupakan kisah roman melegenda berdasarkan tokoh Hamzah ibn Abd.
Al-Mutalib, paman Nabi Muhammad S.A.W. Kisah roman ini ditulis oleh Hamzah
Fansuri, seorang ulama Melayu penganut tasawwuf.Mir‘at al-Mu‘minin (Cerminan
jiwa insan setia) yang ditulis oleh Shamsuddin as-Sumatrani, seorang penasehat
spiritual Sultan Iskandar Muda, murid dan penerus Hamzah Fansuri.[16]
Para
sastrawan Islam melakukan penggubahan-penggubahan baru terhadap Mahabarata,
Ramayana, dan Pancatantra. Hasil gubahan ini misalnya Hikayat Pandawa Lima,
Hikayat Perang Pandawa Jaya, Hikayat Seri Rama, Hikayat Maharaja Rawana,
Hikayat Panjatanderan, Hikayat Panji Kuda Sumirang, Hikayat Cekel Waning pati,
Hikayat Panji Wila kusuma, Cerita wayang kinudang, Sya’ir Panji Sumirang. Saduran-saduran
tadi sebagian tertulis dalam tembang atau dalam gancaran. Di Jawa, muncul
sastra-sastra lama yang dipengaruhi Islam semisal Bratayuda, Serat Rama, Arjuna
Sasrabahu.
Bentuk seni sastra yang
berkembang adalah:[17]
a. Hikayat yaitu cerita
atau dongeng yang berpangkal dari peristiwa atau tokoh sejarah. Sering berisi
keajaiban atau peristiwa yang tidak masuk akal. Terkadang juga berisi tokoh
sejarah atau berkisar kepada suatu peristiwa yang sungguh terjadi. Hikayat
ditulis dalam bentuk gancaran (karangan bebas atau prosa). Contoh hikayat yang
terkenal yaitu Hikayat 1001 Malam, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Pandawa Lima,
Hikayat Abu Nawas, Hikayat Hang Tuah, Hikayat Bayan Budiman, Hikayat Sri Rama,
Hikayat Jauhar Manikam, Hikayat si Miskin (Hikayat Marakarma), Hikayat
Bakhtiar,
b. Babad yakni kisah
rekaan pujangga keraton sering dianggap sebagai peristiwa sejarahdi melayu
sering disebut salasilah dan tambo. Contohnya
Babad Tanah Jawi (Jawa Kuno), Babad Giyanti, Sejarah Hasanudin, Salasilah
perak, Sejarah Banten Rante-rante, Babad Cirebon dan lain-lain.
c. Suluk adalah
kitab-kitab yang berisi ajaran tasawuf yang bersifat panteisme. Beberapa
contoh dari kitab suluk seperti Suluk Sukarsa, dan Suluk Malang
Sumirang.
d. Primbon yaitu kitab bercorak kegaiban dan
berisi ramalan-ramalan,
penentuan-penentuan hari baik dan buruk,
serta pemberian-pemberian makna kepada suatu kejadian.
e. Bentuk kesusastraan disebut kitab karena isinya
ajaran-ajaran moral dan tuntunan hidup sesuai dengan syari’at dan adat,
misalnya kitab manik maya, Kitab Anbiya, Kitab Taj al-Salatin, Bustan al-Salatin.
Dibandingkan seni sastra zaman Hindu, hasil-hasil seni sastra zaman Islam
tidak terlalu banyak yang sampai kepada kita. Hal ini disebabkan seni sastra
daerah belum mampu sebagai tempat menyimpan, mengabadikan, melangsungkan dan
meneruskan hasil-hasil karya karangan sastra zaman Islam kepada kita.
3.
Seni Bagunan (Arsitektur)
Seni
bangunan yang bercorak Islami jarang sekali dijumpai di Indonesia. Hampir tidak
ada bangunan Islam di Indonesia yang menunjukkan keagungan Islam yang setaraf
dengan bangunan bersejarah yang ada di negara Islam lainnya. Disamping itu,
Indonesia tidak memiliki satu corak tersendiri seperti Ottoman Style, India
style dan Syiro Egypt style, meskipun Islam telah lima abad ada di Indonesia.[18]
Model
bangunan Islam pada saat itu masih sangat kental dengan aplikasi, bahkan
peniruan model bangunan Hindu Budha. Hal ini dapat dilihat pada model-model
masjid dan beberapa perlengkapannya, seperti: menara masjid, atap tumpang dan
beduk raksasa yang semuanya adalah mengaplikasi bentuk budaya Hindu dan Budha.
Pasca
kemerdekaan, Indonesia dapat berhubungan dengan bangsa yang lain, maka sedikit demi sedikit
unsur-unsur lama dapat dihilangkan. Atap tumpang yang sangat identik dengan bangunan hindu
Budha dimodifikasi
dengan kubah dari masjid timur tengah atau India, misalnya Masjid Kutaraja
yang didirikan oleh Belanda tahun 1878. Selain itu, masjid-masjid di Indonesia dalam
perkembangannya banyak meniru model-model masjid Negara Islam lainnya. Seperti Masjid Syuhada yang ada di
yogyakarta yang menyerupai Taj Mahal India, masjid Istiqlal yang menyerupai ottoman style yang
ada di Byzantium dan masjid Al-Tien (di TMII) yang meniru model bangunan India.
4.
Seni Ukir
Tradisi Islam tidak menggambarkan bentuk
manusia atau hewan. Dalam sebuah riwayat disebutkan[19].
Berkata Said ibn Hasan: “Ketika saya bersama dengan Ibn Abbas datang seorang laki-laki, ia berkata: “Hai Ibn Abbas, aku hidup dari kerajinan tanganku,
membuat arca seperti ini.” Lalu Ibn Abbas menjawab, “Tidak aku katakan kepadamu
kecuali apa yang telah ku dengar dari Rasulullah saw. Beliau bersabda, “Siapa
yang telah melukis sebuah gambar maka dia akan disiksa Tuhan sampai dia dapat
memberinya nyawa, tetapi selamnya dia tidak akan mungkin memberinya nyawa.” Hadits di atas
secara eksplisit melarang melukis apapun yang menyerupai makhluk yang hidup,
apalagi manusia.
Pada masa-masa
awal Islam di Indonesia, ternyata larangan ini diikuti, meskipun di Persi dan
India hal itu tidak dihiraukan. Oleh sebab itu, ketika Islam baru datang ke
Indonesia, terutama ke Jawa, ada kehati-hatian para penyiar agama. Banyak
candi-candi besar, -termasuk candi Borobudur- ditimbun dengan tanah (baru kemudian pada zaman Belanda ditemukan dan di
gali kembali) supaya tidak mengganggu para muallaf.[20]
Kesenian ukir
harus disamarkan, sehingga seni ukir dan seni patung menjadi terbatas kepada
seni ukir hias saja. Untuk seni ukir hias, orang mengambil pola-pola berupa daun-daun, bunga-bunga, bukit-bukit,
pemandangan, garis-garis geometri, dan huruf Arab. Pola ini kerap digunakan
untuk menyamarkan lukisan makhluk hidup (biasanya binatang), bahkan juga untuk
gambar manusia. Menghias masjid pun ada larangan, cukup tulisan-tulisan yang
mengingatkan manusia kepada Allah dan Nabi serta firman-firman-Nya. Salah satu
masjid yang dihiasi dengan ukiran-ukiran adalah Masjid Mantingan dekat Jepara
berupa pigura-pigura yang tidak diketahui dari mana asalnya (pigura-pigura itu
kini dipasangkan pada
tembok-tembok masjid). [21]
Ukiran ataupun hiasan, selain ditemukan di
masjid juga ditemukan pada gapura-gapura atau pada pintu dan tiang. Gapura-gapura banyak
dihiasi dengan pahatan-pahatan indah, seperti gapura di Tembayat (Klaten) yang
dibuat oleh Sultan Agung Mataram (1633), sedangkan hiasan yang mewah terdapat
pada gapura di Sendang duwur yang polanya terutama berupa gunung-gunung karang,
didukung oleh sayap-sayap yang melebar melingkupi seluruh pintu gerbangnya,
dibawah sayap sebelah kanan tampak ada sebuah pola yang mengandung makna berupa
sebuah pintu bersayap.[22]
B.
Perkembangan
Pendidikan Islam Di Indonesia
Jika
kita mencermati agenda permasalahan universal yang dihadapi rakyat Indonesia
dewasa ini, maka diskursus yang paling menarik untuk dibahas adalah pendidikan.
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dan tidak bisa lepas dari
kehidupan. Dengan pendidikan, kita bisa memajukan kebudayaan dan mengangkat
derajat bangsa di mata dunia internasional. Dengan pendidikan akan lahirlah
Sumber Daya Manusia yang berkualitas, baik dari segi spritual,
intelegensi, maupun skill.
Kita barangkali perlu merefleksikan lagi bahwa
Indonesia merupakan pusat konsentrasi umat Islam yang terbesar di dunia.
Sehingga dengan demikian, eksistensi pendidikan Islam di Indonesia tidak dapat
dipandang sebelah mata saja. Karena bagaimanapun, pendidikan Islam merupakan
warisan leluhur bangsa ini yang pernah berhasil menciptakan manusia yang
berkualitas, baik intelektual maupun moralitas. Sehingga tidak mengherankan,
bila pendiri negeri ini meletakkan pendidikan pada tempat yang tertinggi
sebagai sarana untuk membina dan membangun manusia Indonesia seutuhnya,
sebagaimana tercermin dalam Pembukaan UUD 1945: “Untuk memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.”
Untuk itu, tak berlebihan kiranya jika kita
kembali merunut sejarah masa lalu terhadap perkembangan pendidikan Islam di
Indonesia dari waktu ke waktu, sejak dengan ditandai oleh munculnya berbagai
lembaga pendidikan secara bertahap; mulai dari yang amat sederhana, sampai
dengan tahap-tahap yang sudah terhitung modern dan lengkap; yang kesemuanya
telah memainkan fungsi dan perannya sesuai dengan tuntutan masyarakat dan
zamannya. Dengan demikian diharapkan akan dapat menjadi bahan rujukan dan
perbandingan bagi pengelola pendidikan Islam pada masa sekarang ini.
1.
Asal-usul
Pendidikan Islam di Indonesia
Berbicara tentang pendidikan Islam di
Indonesia, sangatlah erat hubungannya dengan kedatangan Islam itu sendiri ke
Indonesia. Dalam konteks ini, Mahmud Yunus mengatakan, bahwa sejarah pendidikan
Islam sama tuanya dengan masuknya Islam ke Indonesia. Hal ini disebabkan karena
pemeluk agama Islam yang kala itu masih tergolong baru, maka sudah pasti akan
mempelajari dan memahami tentang ajaran-ajaran Islam. Meski dalam pengertian
sederhana, namun proses pembelajaran waktu itu telah terjadi. Dari sinilah
mulai timbul pendidikan Islam, dimana pada mulanya mereka belajar di
rumah-rumah, langgar/surau, masjid dan kemudian berkembang menjadi pondok
pesantren. Setelah itu baru timbul sistem madrasah yang teratur sebagaimana
yang dikenal sekarang ini.[23]
Berdasarkan ungkapan di atas, dapat dipastikan
pendidikan Islam itu telah berlangsung di Indonesia sejak mubaligh pertama
melakukan kegiatannya dalam rangka menyampaikan keIslaman baik dalam bentuk
pentransferan pengetahuan, nilai, dan aktivitas maupun dalam pembentukan sikap
atau suri tauladan. Maka dalam konteks pendidikan, para pedagang dan mubaligh
yang memperkenalkan sekaligus mengajarkan Islam tersebut adalah pendidik, sebab
mereka telah melaksanakan tugas-tugas kependidikan.
Dalam hal ini timbul pertanyaan, apa tolak ukur
yang dijadikan bahwa kegiatan para pedagang atau mubaligh di dalam rangka
menyampaikan ajaran Islam dapat digolongkan kepada aktivitas pendidikan. Untuk
mencari makna dan hakikat pendidikan, maka perlu dcari ciri-ciri esensial
aktivitas pendidikan, sehingga dapat dipilih mana aktivitas pendidikan dan mana
yang bukan, untuk itu perlu dicari unsur dasar pendidikan.
Neong Muhadjir sebagaimana yang dikutip Haidar
Putra Daulay menjelaskan bahwa ada lima unsur dasar pendidikan, yaitu adanya
unsur pemberi dan penerima. Unsur pemberi dan penerima baru bermakna pendidikan
kalau dibarengi dengan unsur ketiga, yaitu adanya tujuan baik. Jika hanya
hubungan pemberi dan penerima saja yang ada ini belum dapat dikatakan aktivitas
pendidikan, tanpa dibarengi dengan tujuan baik, sebab hubungan antara penjual
dan pembeli, majikan dan buruh, juga ada hubungan antara pemberi dan penerima
dan hubungan yang seperti ini belum dikatakan aktivitas pendidikan. Unsur
berikutnya yakni unsur keempat cara atau jalan yang baik. Hal ini terkait
nilai. Selanjutnya unsur kelima adalah konteks yang positif upaya pendidik
adalah menumbuhkan konteks positif dengan menjauhi konteks negatif.[24]
Dengan dijelaskannya kelima unsur dasar
pendidikan di atas akan dapat dijadikan acuan tentang aktivitas pedagang dan
muballigh tersebut apakah dapat digolongkan sebagai sebuah aktivitas pendidikan
atau bukan. Maka jika kita hubung-hubungkan akan ditemukan sebuah kesimpulan
bahwa para pedagang dan mubaligh ketika memperkenalkan dan mengajarkan ajaran Islam
kepada masyarakat sudah memenuhi unsur pendidikan tersebut. Dengan demikian,
pendidikan Islam di Indonesia telah berlangsung sejak masuknya Islam ke
Indonesia, dan dengan demikian pula pendidikan Islam telah memainkan peranannya
dalam pembentukan masyarakat Indonesia.
2.
Sistem
Pendidikan Islam Pada Masa Kerajaan Islam di Nusantara
Ibnu
Batutah dalam bukunya Rihlah Ibn Batutah menuliskan bahwa ketika ia
berkunjung ke Samudra Pasai pada tahun 1354 ia mengikuti raja mengadakan
halaqah setelah shalat Jum’at sampai waktu Ashar. Dari keterangan itu diduga
kerajaan Samudra Pasai ketika itu sudah merupakan pusat agama Islam dan tempat
berkumpul para ulama-ulama dari berbagai Negara Islam untuk berdiskusi tentang
masalah-masalah keagamaan dan keduniawian sekaligus.[25]
Setelah
kerajaan Samudra pasai mundur dalam bidang politik, tradisi pendidikan agama Islam
terus berlanjut. Samudra Pasai terus berfungsi sebagai pusat studi Islam di
Asia tenggara, walaupun secara politik tidak berpengaruh lagi. ketika kerajaan Islam
Malak muncul menjadi pusat kegiatan politik, Malak berkembang juga menjadi
pusat studi Islam. Akan tetapi peranan Samudra Pasai sebagai pusat studi Islam
tidak berkurang, bahkan terkadang masalah yang tidak dapat dipecahkan oleh
ulama Malaka dimintakan fatwanya kepada ulama samudra pasai. Kerajaan Malaka
selain sebagai pusat politik Islam, juga giat melaksanakan pengajian dan
pendidikan Islam.[26]
Di
kerajaan Aceh Darussalam, sultan Iskandar Muda juga sangat memerhatikan
pengembangan agama dengan mendirikan masjid-masjid seperti Masjid Baiturrahman
di Banda Aceh dan juga pusat-pusat pendidikan Islam yang disebut dayah. Sultan
mengambil ulama sebagai penasihatnya, yang terkenal di antaranya adalah
Samsuddin al-Sumatrani. Trasidi ini dilanjutkan oleh sultan-sultan selanjutnya,
sehingga di Aceh terdapat ulama-ulama terkenal yang sangat berjasa menyebarkan ilmu
pengetahuan Islam di Asia tenggara. Kemajuan pesat lembaga pendidikan di Aceh
ini telah menyebabkan orang menjulukinya sebagai “Serambi Makkah”. Murid dari
kerajaan lain belajar kepada guru ngajinya masing-masing, kemudian meningkat
belajar lebih tinggi di Aceh, sesudah itu ke Makkah.
Dalam hubungannya dengan pengembangan
pendidikan Islam di Indonesia, sejak awal penyebaran Islam, masjid telah
memegang peranan yang cukup besar. Kedatangan orang-orang Islam ke Indonesia
yang pada umumnya berprofesi sebagai pedagang, mereka hidup berkelompok dalam
beberapa tempat, yang kemudian tempat-tempat yang mereka tempati tersebut
menjadi pusat-pusat perdagangan. Di sekitar pusat-pusat dagang itulah, mereka
biasanya membangun sebuah tempat sederhana (masjid), dimana mereka bisa
melakukan shalat dan kegiatan lainnya sehari-hari. Memang tampaknya tidak hanya
kegiatan perdagangan yang menarik bagi penduduk setempat. Kegiatan para
pedagang muslim selepas dagangpun menarik perhatian masyarakat. Maka sejak
itulah pengenalan Islam secara sistematis dan berlangsung di banyak tempat.
Pada masa itu, masjid dijadikan satu-satunya
tempat bertemu antara ulama dengan masyarakat umum. Hal ini mengingat tidak ada
tempat yang lebih memadai dalam mewadahi kegiatan tersebut selain di masjid.
Maka tak heran bila akhirnya masjid selain untuk kegiatan ibadah, juga difungsi
sebagai pusat kegiatan pendidikan bagi penduduk pedesaaan. Dari masjid inilah
generasi muda muslim dididik dan digembleng, merekalah yang nantinya membuka
jalan baru dalam membentuk masyarakat muslim di Indonesia dan menyebar sampai
seluruh pelosok tanah air hingga terbentuknya kerajaan Islam di Indonesia.
Pada masa kerajaan Islam, para sultan
memberikan dukungan yang sangat besar terhadap pengembangan masjid sebagai
pusat pendidikan. Di Jawa, Sultan Demak memerintahkan pembangunan masjid agung
yang menjadi pusat keilmuan kerajaan di Bintara, kemudian dukungan kepada para
wali yang bertanggung jawab terhadap kehidupan agama Islam di Demak dengan
pusat kegiatannya di Masjid Agung Demak. Dari masjid itulah para wali
merencanakan, mendiskusikan dan membahas perkembangan Islam di Jawa dan pada
akhirnya mereka berhasil mengIslamkan Pulau Jawa. Di Kutai, Sultan mendirikan
masjid yang dijadikan sebagai tempat terhormat untuk menjadi tempat pendidikan
dari kalangan bawah sampai atas, termasuk dari kalangan keluarganya sendiri.
Sementara di Aceh, masjid dibangun dengan megah dan dijadikan tempat mendidik
masyarakat kesultananan Aceh.[27]
Dalam perkembangan selanjutnya, masjid sebagai
pusat pendidikan dan pengajaran secara informal maupun nonformal ini ternyata
memberikan hasil yang cukup gemilang, yakni tersebarnya ajaran Islam keseluruh
pelosok tanah air.
Di Minangkabau lembaga
pendidikan disebut surau. Surau sebelum Islam datang berfungsi sebagai tempat
menginap anak-anak bujang. Setelah Islam datang surau dipergunakan sebagai
tempat shalat, pengajaran, dan pengembangan Islam, seperti belajar membaca
al-Qur`an. Yang pertama melakukan Islamisasi surau adalah Syaikh Burhanuddin (1641-1691)
setelah menuntut ilmu keislaman kepada Abdurra’uf Singkel di Kutaraja Aceh,
burhanuddin kembali ke kampung halamannya di Ulakan-pariaman, mendirikan surau
untuk mendidik kader-kader ulama yang akan melakukan pengembangan Islam
selanjutnya di Minangkabau. Surau inilah cikal bakal lembaga pendidikan Islam
yang lebih teratur di masa berikutnya. Murid-muridnya kemudian kembali ke
tempat masing-masing, mendirikan surau-surau sambil melakukan perbaikan dan
pengembangan.[28]
Di kerajaan Islam
Banjar Kalimantan Selatan, lembaga pendidikan Islam pertama dikenal dengan nama
langgar. Orang pertama yang mendirikan langgar adalah Syaikh Muhammad Arsyad
al-Banjari, seorang ulama Banjar yang pernah menuntut ilmu keislaman di Aceh
dan Makkah selama beberapa tahun. Sekembalinya ke Banjarmasin, ia membuat
langgar yang didirikan di pinggiran ibukota kerajaan yang kemudian dikenal
dengan nama kampung Dalam Pagar. Langgar di Banjar banyak kemiripannnya dengan
pesantren di jawa.[29]
Di Jawa lembaga
pendidikan Islam disebut pesantren. Sebelum Islam datang, pesantren sudah dikenal
sebagai lembaga pendidikan agama Hindu. Setelah Islam masuk nama itu
menjadi nama lembaga pendidikan agama
Islam. Lembaga pendidikan Islam pertama di Jawa adalah Pesantren Giri dan
Pesantren Gresik di Jawa Timur. Terdapat juga pendidikan agama di
Ampel-Surabaya-Jawa Timur, yang dibangun oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel Denta).
Berawal dari usaha dua Sunan ini, pada masa berikutnya semakin banyak
pusat-pusat pendidikan Islam di Jawa seperti Tembayat, Prawoto (Demak), dan
Gunung Jati Cirebon.
Di Jawa setelah berdirinya kerajaan Demak,
pendidikan Islam bertambah maju karena telah ada pemerintah yang
menyelenggarakannya dan pembesar-pembesar Islam membelanya. Pada tahun 1476 di
Bintoro di bentuk organisasi Bayankare Islah (Angkatan Pelopor Perbaikan) untuk
mempergiat usaha dan pengajaran Islam. Salah satu dari rencana pekerjaannnya
adalah membagi tanah Jawa-Madura atas beberapa bagian untuk lapangan
pendidikan, yang mana tiap-tiap bagian dikepalai oleh seorang wali dan seorang
pembantu (badal). [30]
Berdasarkan rencana itu, di tiap tempat sentral
suatu daerah didirikan masjid, dipimpin oleh wali atau badal untuk menjadi
sumber pendidikan Islam yang sampai sekarang dibeberapa tempat masih ada. Para
wali tiap dearah diberi gelar sesuai dengan nama daerahnya, misalnya Sunan
Gunung Jati, Sunan Bonang, dan lain sebagainya. Sedangkan badal gelarnya Kiai
Ageng, misalnya Kiai Agung Tarub, Kiai Agung Selo, dan lain-lain.
Kebijaksanaan wali-wali menyiarkan agama Islam
dengan memasukkan unsur-unsur pendidikan dan pengajaran Islam dalam segala
cabang kebudayaan sangat memuaskan, sehingga agama Islam tersebar ke seluruh
Indonesia. [31]
Kemudian pusat kerajaan pindah ke Mataram tahun
1586. Pada zaman Sultan Agung Mataram (1613), sesudah mempersatukan Jawa Tengah
dengan Jawa Timur pada Tahun 1630, Sultan Agung membangun negara, mempergiat
pertanian dan perdagangan. Untuk pelaksanaan pendidikan di suatu kabupaten
dibagi menjadi beberapa bagian. Pelaksanaannya pada tiap-tiap bagian dipertanggungjawabkan
kepada beberapa ketib, dibantu oleh beberapa Modin. Naib dan pengawalnya serta
Modin Desa adalah penyelenggara dan Naib sebagai kepalanya. Di beberapa daerah
kabupaten diadakan Pesantren Besar lengkap dengan pondok-pondoknya untuk melanjutkan
pendidikan di Desa. Gurunya diberi gelar Kiai Sepuh ayau Kanjeng Kiai.
Di desa-desa diadakan beberapa tempat pengajian
al-Qur`an, dimulai dengan mengenal huruf
Hijaiyyah, Juz ‘Amma, al-Qur`an, pokok-pokok dasar ilmu agama Islam seperti
ibadah, rukun iman, rukun Islam dan sebagainya.
Pada masa kerajaan Kartasura (± tahun 1700) ada
beberapa pesantren besar yang dijadikan perdikan, yaitu diberikan tanah, sawah
dan tempat tinggal sebagai hak milik turun temurun yang yang dibebaskan dari
kewajiban membayar pajak. Tanah itu disebut tanah Mutihan. Namun sayang, pada
tahun 1916-1917 semua perdikan dihapuskan oleh Belanda dijadikan tanah
gubernemen.[32]
3.
Pendidikan
Islam Zaman Penjajahan
a.
Pendidikan Zaman Belanda
Sejarah kolonial membuktikan bahwa Belanda sangat
berkepentingan untuk menghambat pendidikan Islam di Indonesia. Hal yang
dipandang menguntungkan Islam dinilainya akan merugikan kekuasaan pemerintah
kolonial Hindia Belanda. Kenyataan pahit pernah dialami oleh umat Islam
Indonesia dengan adanya kebijaksanaan ‘Perburuan Guru Agama’ yang diterapkan
pemerintah. Kebijaksanaan itu merupaka reaksi pemerintah Belanda atas
pemberontakan Banten tahun 1888. Umat Islam juga pernah merasakan getirnya
kebijakan Ordonasi Guru tahun 1905 (dan diperbarui tahu 1925). Ordonasi guru
mewajibkan setiap guru agama Islam memperoleh izin bupati bagi kelayakan
mengajar, seperti mengajar membaca al-Qur`an.[33]
Pada masa tersebut, seorang bupati mengemban
tugas mengawasi para penghulu, guru pengajian, dan semua hal yang berkaitan dengan
kegiatan agama Islam. Beberapa kebijakan pemerintah yang sangat membatasi gerak langkah umat Islam, termasuk dalam hal
pendidikan, sangat merugikan umat Islam
dan perkembangan Islam di Indonesia. Dampaknya, pendidikan Islam mengalami
stagnasi, atau bahkan kemunduran.[34]
Kemunduran pendidikan Islam itu sampai
puncaknya sebelum tahun 1900 M yang meliputi seluruh Indonesia. Bahkan pada tahun 1882 Belanda membuat badan
khusus yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam. Tahun
1925 Belanda mengeluarkan peraturan lebih ketat, bahwa tidak semua kiai boleh
memberikan pelajaran mengaji. Peraturan itu disebabkan tumbuhnya organisasi
pendidikan Islam, seperti Muhammadiyah, Syarikat Islam, Al-Irsyad, Nahdhatul
Wathan, dan lain-lain. Selain itu, untuk menjaga dan menghalangi masuknya
pelajaran agama di sekolah umum yang kebanyakan muridnya beragama Islam, maka
pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan yang disebut ‘netral agama’.
Jika melihat peraturan-peraturan Belanda yang
demikian ketat mengawasi dan menekan aktivitas madrasah dan pesantren di
Indonesia, seolah-olah pendidikan Islam akan lumpuh total pada perkembangan
selanjutnya. Apa tetapi apa yang terjadi adalah sebaliknya.
Pada tahun 1901 Belanda melakukan politik etis,
yaitu mendirikan pendidikan rakyat sampai ke desa yang memberikan hak-hak
pendidikan pada pribumi dengan tujuan untuk mempersiapkan pegawai-pegawai yang
bekerja untuk Belanda, juga untuk menghambat pendidikan tradisional. Di luar
dugaan, berdirinya sekolah-sekolah rakyat di desa di mana orang pribumi belajar
di sekolah-sekolah Belanda justru menjadikan mereka mengenal sistem pendidikan
modern: sistem kelas, pemakaian meja, metode belajar modern, dan pengetahuan
umum. Mereka juga menjadi mengenal surat kabar dan majalah untuk mengikuti
perkembangan zaman. Pandangan rasional ini menjadi pendorong untuk mengadakan
pembaharuan, di antaranya bidang agama dan pendidikan. Maka, lahirlah gerakan
pembaruan pendidikan Islam.[35]
Masa perubahan di Jawa sejak tahun1900 dimulai
oleh K.H. Hasyim Asyari yang membuka Pesantren Tebuireng di Jombang, mulai
tingkat dasar sampai tingkat tinggi yang meluluskan banyak ulama. Pada masa
perubahan ini kitab yang dipakai semuanya dicetak. Kitab yang ditulis tangan
tidak dipakai lagi. pada mulanya kitab-kitab itu dicetak di Makkah dan
Singapura, kemudian kitab-kitab itu dipesan ke Mesir. Selain kitab-kitab ada
juga majalah dari Mesir seperti al-Manar.
Dengan demikian pembaruan pendidikan Indonesia
sudah dimulai sejak zaman kolonial Belanda. Hal ini ditandai dengan berdirinya
organisasi-organisasi Islam (seperti Sumatra Thawalib, Jaami’atul Khayr,
Al-Irsyad, PUI, Muhammadiyah, PERSIS, dan lain lain) yang mendirikan
sekolah-sekolah Islam, di mana sistem pengajarannya tidak lagi di surau dengan
sistem tradisional melainkan sudah menggunakan sistem klasikal dengan kurikulum
pelajaran agama dan pengetahuan umum, walaupun kondisinya masih sederhana.
b.
Pendidikan Zaman Jepang
Jepang menjajah Indonesia setelah mengalahkan
Belanda dalam Perang Dunia II pada tahun 1942 dengan semboyan Asia Timur Raya
atau Asia untuk Asia. Pada awalnya pemerintah jepang seakan-akan membela
kepentingan Islam sebagai siasat untuk memenangkan perang. Untuk menarik
dukungan rakyat Indonesia, pemerintah Jepang membolehkan didirikannya
sekolah-sekolah agama dan pesantren-pesantren yang terbebas dari pengawasan
Jepang. Selain itu, kebijaksanaan Jepang yang lain di antaranya; mengunjungi
dan memberi bantuan kepada pondok pesantren yang besar-besar, memberi pelajaran
budi pekerti kepada sekolah-sekolah negeri, mengizinkan berdirinya Sekolah
Tinggi Islam dipimpin oleh K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir, dan Bung Hatta,
membolehkan berdirinya Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Kantor Urusan
Agama yang pada zaman Belanda disebut kantor Voor Islamistische Saken yang
dipimpin oleh orientalis Belanda diubah
menjadi Sumubu yang dipimpin ulama Islam sendiri, yaitu K.H. Hasyim Asyari dari
Jombang dan di daerah-daerah disebut sumuka, didirikannya Barisan Pembela Tanah
Air (PETA) oleh Ulama Islam bekerja sama dengan pemimpin nasionalis.
Maksud dari pemerintah jepang adalah agar
kekuatan umat Islam dan nasionalis bisa diarahkan untuk kepentingan memenangkan
perang yang dipimpin Jepang.
Pada masa pemerintahan Jepang, sekolah dasar
dijadikan satu macam yaitu sekolah dasar enam tahun. Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar
digunakan di semua sekolah dan menjadi mata pelajaran utama. Bahasa Jepang diberikan
sebagai mata pelajaran wajib. Para pelajar harus mempelajari adat istiadat
Jepang. Mereka juga diharuskan melakukan kinrohosyi (kerja bakti),
mengikuti pelatihan jasmani (taiso) dan latihan militer. Mereka
digembleng agar memiliki semangat
Jepang, harus menyanyikan lagu kebangsaan Jepang Kimigayo serta
melakukan penghormatan ke arah istana Kaisar di Tokyo dan bendera Jepang.
Para Guru dilatih dan diindoktrinasi dalam Hakko
Iciu (kemakmuran bersama) pada bulan Juni 1942 di Jakarta. Para peserta
diambil dari tiap-tiap daerah kabupaten. Sesudah selesai latihan mereka harus
kembali ke daerah masing-masing, mengadakan latihan untuk meneruskan hasil yang
mereka peroleh dengan melatih guru-guru yang lain, sehingga menjadi propaganda
Jepang.
Semua perguruan tinggi masa pemerintah militer
Jepang ditutup, walaupun kemudian ada beberapa yang dibuka, seperti Perguruan
Tinggi Kedokteran (Ika Daigaku) di Jakarta tahun 1943, Perguruan Tinggi Teknik
di Bandung, Perguruan Pamongpraja di Jakarta, Perguruan Tinggi Kedokteran Hewan
di Bogor. Semuanya tetap di bawah pengawasan Jepang.[36]
Demikianlah sekolah-sekolah pada zaman militer
Jepang umumnya mengalami kemunduran. Namun, masalah yang paling penting pada sekolah-sekolah itu (1942-1945) adalah
nasionalisasi, bahasa pengantar, serta pembentukan kader-kader muda untuk tugas
berat di masa mendatang.
c.
Pendidikan Zaman Kemerdekaan
Pasca kemerdekaan, pendidikan Islam mulai
mendapat kedudukan yang sangat penting dalam sistem pendidikan nasional.
Pendidikan agama di sekolah mendapat tempat yang teratur, seksama, dan penuh
perhatian. Madrasah dan pesantren juga mendapat perhatian. Untuk itu dibentuk
Departemen Agama pada tanggal 3 Desember 1946 yang bertugas mengurusi
penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah umum dan madrasah serta
pesantren-pesantren.[37]
Pendidikan Islam setahap demi setahap
dimajukan. Istilah pesantren yang dulu hanya mengajar agama di surau dan
menolak modernitas pada zaman kolonial, sudah mulai beradaptasi dengan tuntutan
zaman. Sekolah agama, termasuk madrasah ditetapkan sebagai model dan sumber
pendidikan Nasional yang berdasarkan Undang-undang Dasar 1945.
Pada tahun 1958 pemerintah terdorong untuk
mendirikan Madrasah Negeri dengan ketentuan kurikulum 30% pelajaran agama dan
70% pelajaran umum. Sistem penyelenggaraannya sama dengan sekolah-sekolah umum
dengan perjenjangan; Madrasah Ibtida`iyyah Negeri (MIN) setingkat SD dengan
lama belajar 6 tahun, Madrasah Tsanawiyyah Negeri (MTsN) setingkat SMP lama
belajar 3 tahun, dan Madrasah ‘Aliyah Negeri (MAN) setingkat SMA lama belajar 3
tahun.
Selain itu tuntutan untuk mendirikan perguruan
tinggi juga meningkat. Sebelum kemerdekaan sebenarnya sudah berdiri perguruan
tinggi pertama, yaitu Sekolah Tinggi Islam didirikan oleh Persatuan Guru-guru
Agama Islam (PGAI) di Padang. Di Jakarta didirikan STI (Sekolah Tinggi Islam)
pada Juli 1945 oleh beberapa pemimpin Islam, yaitu Hatta dan M. Natsir. Karena
pergolakan kemerdekaan, STI dipindah ke Yogyakarta dan pada 22 Maret 1945 STI
berubah menjadi UII (Universitas Islam Indonesia). Setelah kemerdekaan di Yogya
juga dibuka UGM (Universitas Gadjah Mada). Pemerintah kemudian menawarkan untuk
menegerikan UII dan UGM. UII menerima dengan syarat di bawah naungan Departemen
Agama. Akhirnya hanya satu fakultas yang dinegerikan, yaitu Fakultas
Agama. Kemudian Fakultas Agama UII
berubah menjadi PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri). Di Jakarta dibuka
ADIA ( Akademi Dinas Ilmu Agama), yang pada Mei 1960 digabungkan dengan PTAIN
oleh Departemen Agama menjadilah IAIN yang berkedudukan di Yogya dan bercabang
di Jakarta. Setelah beberapa tahun Departemen Agama memisahkan IAIN menjadi dua
yang masing-masing berdiri sendiri, yaitu IAIN Yogya dan IAIN Jakarta.
Sejalan dengan perkembangannya, IAIN bertambah
pesat dan melahirkan cabang-cabangnya di pelbagai wilayah. Selain itu,
perguruan tinggi swasta juga bermunculan di antaranya UNJ, UM, UNISBA, dan
UNISMA. Pada tahun 2002, IAIN Syarif Hidayatullah berubah menjadi UIN
(Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah yang di dalamnya menyelenggarakan
pendidikan selain fakultas-fakultas agama -seperti Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan, Fakultas Adab, dan Ilmu
Humaniora, Fakultas Ushuluddin dan Falsafah, Fakultas Syari’ah dan Hukum,
Fakultas Dakwah dan Komunikasi- juga membuka Fakultas Psikologi, Fakultas
Ekonomi dan Sosal, Fakultas Sain dan Tekhnologi, dan program pascasarjana. Juga
sedang dirancang pendirian Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan.[38]
DAFTAR PUSTAKA
Daulay, Haidar Putra, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan
Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2007.
Hamka, Sejarah Umat Islam VI, Jakarta, Bulan Bintang, 1975.
Huda, Nor, Islam Nusantara:
Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, Jogjakarta, Ar-Ruzz Media,
2007.
Nawawi, -An, Syarh Muslim,
Juz XIV.
Sunanto,
Musyrifah, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, Rajawali Press, 2010.
Yunus,
Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung,
1985.
lentera-rakyat.sos4um.com/t825-seni-bangunan-islam/html.
cimyelfata.blogspot.com/…./peradaban-islam-di-indonesia/html.
aditiyapk.wordpress.com/2008/.../islam-dalam-seni-budaya-indonesia/html.
majapahit1478.blogspot.com/p/jejak-islam//html.
[1]Musyrifah
Sunanto, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), h. 92
[3]Hamka, Sejarah
Umat Islam IV, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 78.
[5]Musyrifah
Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia,……………, h. 94
[6] indonesianto07.wordpress.com/.../perkembangan-dan-akulturasi-islam.html
[7] Ibid.,
[8]Musyrifah
Sunanto., h. 95
[9] aditiyapk.wordpress.com/2008/.../islam-dalam-seni-budaya-indonesia/html
[10]Musyrifah
Sunanto., Op. Cit., h. 98
[12] aditiyapk.wordpress.com/2008/.../islam-dalam-seni-budaya-indonesia...
[13]
Ibid.,
[15] cimyelfata.blogspot.com/.../peradaban-islam-di-indonesia-sebelum.html
[17] Ibid,
[18]lentera-rakyat.sos4um.com/t825-seni-bangunan-islam/html
[19]An-Nawâwî, Syarh
Muslim, juz XIV, hlm. 86-87
[20] Musyrifah
Sunanto., Op. Cit., h. 101.
[21] Ibid.,
h. 103
[22] Ibid.,
h. 104.
[23]Mahmud Yunus, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1985.
[24]Haidar Putra Daulay, Sejarah
Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, Cet. II, 2007.
[25] Musyrifah
Sunanto……., h. 105
[28]Mahmud Yunus, Op.
Cit., h. 25.
[29] Musyrifah
Sunanto, Op. Cit., h. 111
[30] Ibid.,
h. 114
[31] Ibid.,
h. 115.
[32] Ibid.,
h. 117.
[33] Nor Huda, Islam
Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media, 2007), h. 374.
[34] Ibid.,
h. 374.
[35]Musyrifah
Sunanto, Op. Cit., h. 120-121.
[37]Musyrifah
Sunanto, Op. Cit., h. 128.
Masama sob.. Thanks dah mampir ^_^
BalasHapussangat membantu.. terima kasih teteh.. :)
BalasHapusmakasih sob!
BalasHapuswww.sigli-net.blogspot.com
thanks ya ukhti artikelnya sangat bermanfaat sekali jangan lupa kunjungi blog ane ya .... kreatiftricks.blogspot.com
BalasHapusAlhamdulillah membantu sekali
BalasHapus