Selasa, 17 Januari 2012

Perkembangan Seni Budaya Islam dan Pendidikan Islam di Indonesia


PENDAHULUAN
Islam merupakan salah satu agama yang masuk dan berkembang di Indonesia. Hal ini tentu bukanlah sesuatu yang asing bagi kita, karena di media massa mungkin kita sudah sering mendengar atau membaca bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki penganut agama Islam terbesar di dunia. Suatu hal yang dapat dikemukakan bahwa masuknya Islam ke Indonesia tidaklah bersamaan, ada daerah-daerah yang sejak dini telah dimasuki oleh Islam, di samping ada daerah yang terbelakang dimasuki Islam. Berkenaan dengan ini telah disepakati bersama oleh sejarawan Islam bahwa Islam pertama kali masuk ke Indonesia adalah di Sumatera. Kedatangan Islam ke Indonesia itu sendiri terjadi melalui kegiatan perdagangan yang ditempuh dengan proses yang sangat panjang sampai terbentuknya masyarakat muslim.
Masuknya Islam membawa perubahan di berbagai bidang di Indonesia, yang di antaranya adalah bidang seni budaya Islam dan Pendidikan Islam, yang akan pemakalah coba uraikan berikut ini;

A.    Perkembangan Seni Budaya Islam di Indonesia
Kesenian Islam Indonesia sebenarnya sangat minim bila dibandingkan dengan kesenian Islam di Negara lain, sebut saja kerajaan Mughal di India yang sampai sekarang masih memiliki simbol-simbol kebesaran arsitektur Islam seperti Taj Mahal. Hal ini disebabkan Islam masuk ke Indonesia dengan jalan damai sehingga seni Islam harus menyesuaikan diri dengan kebudayaan lama, dan Nusantara adalah negeri yang merupakan jalur perdagangan internasional, sehingga penduduknya lebih mementingkan masalah perdagangan daripada kesenian. Umat Islam Indonesia dalam hal seni Islam memang hanya menjadi pengikut, tidak  pernah menjadi pemimpin. Keseniannya sangat sederhana dan miskin. Kekuatan himmah seperti yang mendorong muslim di Negara lain untuk menciptakan pekerjaan besar, tidak muncul di Indonesia. Kalaupun muncul, biasanya berasal dari pengaruh luar atau peniruan tidak lengkap. Walaupun demikian, Islam datang ke nusantara membawa tamaddun (kemajuan) dan kecerdasan.[1]
            Ada beberapa sebab mengapa hal tersebut terjadi[2] :
1.      Islam yang datang ke Indonesia secara besar-besaran, kira-kira abad ke- 13 M, adalah akibat arus balik dampak kehancuran Baghdad. Dengan demikian, umat Islam yang datang pada hakikatnya adalah para pedagang atau elit bangsawan atau ulama-ulama penyebar agama Islam yang ingin mencari keselamatan dari kehancuran wilayah timur tengah karna adanya perang Mongol pimpinan Hulagu.
2.      Di Indonesia, terutama Jawa, ketika Islam datang sudah memiliki peradaban asli yang dipengaruhi  Hindu Budha yang sudah mengakar kuat terutama di pusat pemerintahan, maka seni Islam harus menyesuaikan diri.
3.      Umat Islam yang datang ke Indonesia mayoritas adalah pedagang (orang sipil, bukan pejabat pemerintah) yang tentu orientasinya adalah datang untuk sementara dan untuk mencari keuntungan untuk dibawah ke negrinya. Datang untuk sementara inilah yang menyababkan mereka mencari hal-hal yang praktis. Kalaupun ada ulama atau sufi yang datang untuk berdakwah,  mereka juga sufi pengembara yang pergi berdakwah dari satu tempat ke tempat lain, sehingga tidak terpikir untuk membuat sesuatu yang abadi.
4.      Ketika sudah ada umat Islam pribumi, kebanyakan keturunan pedagang atau sufi pengembara yang kemudian menjadi raja Islam di Nusantara dan mulai membangun kebudayaan Islam ,datang bangsa Barat yang sejak awal kedatangannya sudah bersikap memusuhi umat Islam (sisa-sisa dendam Perang Salib) sehingga raja-raja Islam pribumi belum sempat membangun.
5.      Islam yang datang ke Indonesia coraknya adalah Islam tasawuf yang lebih mementingkan olah rohani daripada masalah duniawi.
6.      Nusantara adalah negeri yang merupakan jalur perdagangan internasional, sehingga penduduknya lebih mementingkan masalah perdagangan daripada kesenian.
7.      Islam datang ke Indonesia dengan jalan damai, maka terjadilah asimilasi yaitu asal tidak melanggar aturan-aturan agama. Oleh sebab itu, tidak heran jika aspek seni budaya Islam Indonesia tidak hebat seperti di Negara Islam yang lain.

Kesenian-kesenian Islam yang ada di Indonesia adalah sebagai berikut;

1.      Batu Nisan
Kebudayaan Islam dalam bidang seni mula-mula masuk ke Indonesia dalam bentuk batu nisan. Di Pasai masih dijumpai batu nisan makam Sultan Malik al-Saleh yang wafat tahun 1292.[3] Hal yang dapat dicermati pada batu nisan ini dan merupakan indikator Persia yakni aksara yang dipahatkan pada batu nisan merupakan aksara shulus yang cirinya berbentuk segitiga pada bagian ujung. Gaya aksara jenis ini berkembang di Persia sebagai suatu karyaseni kaligrafi.[4] Batu nisan Sultan Malik as-Saleh terdiri dari pualam putih yang di ukir dengan tulisan Arab yang sangat indah berisikan ayat al-Qur`an dan keterangan tentang orang yang dimakamkan serta hari dan tahun wafatnya. Makam-makam yang serupa dijumpai pula di Jawa, seperti makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik.[5]
Indikator Persia lain ditemukan pada batu nisan Na‘ina Husam al-Din berupa kutipan syair yang ditulis penyair kenamaan Persia, Syaikh Muslih al-din Sa‘di (1193-1292 Masehi). Ditulis dalam bahasa Persia dengan aksara Arab. Batu nisan ini bentuknya indah dengan hiasan pohon yang distilir (disamarkan) dan hiasan-hiasan kaligrafi yang berisikan kutipan syair Persia dan kutipan al‘Quran II: 256 ayat Kursi.[6] Terkadang nisan-nisan ini juga dipahat­kan di atasnya kalimat-kalimat bernafaskan sufi, misalnya “Sesungguh­nya dunia ini fana, dunia ini tidaklah kekal, sesungguhnya dunia ini ibarat sarang laba-laba”, dan lain sebagainya.[7]
Meskipun pada umumnya nisan yang kebanyakan dipesan dari gujarat ini bercorak persia, namun bentuk-bentuk nisan kemudian hari tidak selalu demikian. Pengaruh kebudayaan setempat sering mempengaruhi, sehingga ada yang bentuknya teratai, keris, atau bentuk gunungan seperti gunungan pewayangan. Namun, kebudayaan nisan ini tidak berkembang lebih lanjut.[8]

2.      Perkembangan Aksara dan Seni Sastra (Kesusastraan)

Masuknya agama dan budaya Islam di Indonesia sangat berpengaruh terhadap perkembangan seni aksara dan seni sastra di Nusantara. Aksara dan seni sastra Islam pada awal perkembangannya banyak dijumpai di wilayah sekitar selat Malaka dan Pulau Jawa, walaupun jumlah karya sastra dan bentuknya sangat terbatas.

a.       Aksara masa awal Islam
Tersebarnya agama Islam ke Indonesia maka berpengaruh terhadap bidang aksara atau tulisan, yaitu masyarakat mulai mengenal tulisan Arab, bahkan berkembang tulisan Arab Melayu. Di samping itu juga, huruf Arab berkembang menjadi seni kaligrafi yang banyak digunakan sebagai motif hiasan ataupun ukiran.
Penulis aksara-aksara (huruf-huruf) Arab di Indonesia, biasanya dipadukan dengan seni jawa yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.[9] Huruf-huruf Arab yang tertulis dengan sangat indah itu disebut dengan seni kaligrafi (seni Khat). Seperti juga jenis karya seni rupa Islam lainnya, perkembangan seni kaligrafi Arab di Indonesia kurang begitu pesat, apalagi dibandingkan dengan negara-negara lain. Pernah pada awal kedatangannya digunakan untuk mengukir nama dan menulis ayat al-Qur’an di makam-makam terkenal, seperti makam wali Maulana Malik Ibrahim di Gresik dan makam Raja Pasai. Di makam itu ditulis dengan huruf Arab yang Indah, seperti nama, hari, dan tahun wafat serta ayat-ayat al-Qur’an. Namun, kelanjutan seni kaligrafi tidak terlalu berkembang karena penerapan kaligrafi Arab sebagai hiasan sangat terbatas.[10] Hal ini disebabkan oleh hal-hal sebab berikut :
·         Penggunaan seni kaligrafi Arab sebagai hiasan di Indonesia masih sangat terbatas.
·         Bangunan-bangunan kuno pada permulaan berdirinya Kerajaan Islam kurang memberi     peluang bagi penerapan seni kaligrafi.
·         Bangunan masjid-masjid kuno seperti masjid Banten, Cirebon, Demak dan Kudus  kurang memperhatikan penggunaan Seni Kaligrafi Arab.
Seni Kaligrafi hadir dengan kondisi yang kurang menguntungkan, tetapi dapat dikatakan tetap ada perkembangan, ini bisa dilihat dari kitab-kitab bacaan yang agak berkembang di Aceh dan kerajaan-kerajaan Islam lain yang ulamanya banyak menulis kitab-kitab agama. Ini bersamaan dengan berkembangnya seni sastra Islam berupa sya’ir-sya’ir dan penulisan kitab-kitab keagamaan.[11] Selain itu juga karena seni kaligrafi tetap diperlukan untuk berbagai macam keperluan seperti :[12]
·         Untuk hiasan pada bangunan-bangunan masjid.
·         Untuk motif hiasan batik.
·         Untuk hiasan pada keramik.
·         Untuk hiasan pada keris.
·         Untuk hiasan pada batu nisan dan,
·         Untuk hiasan pada dinding rumah
Sampai saat sekarang seni kaligrafi berkembang di Indonesia, terutama dalam seni ukir. Seni ukir kaligrafi ini dikembangkan oleh masyarakat dari Jepara.
b.      Seni sastra awal masa Islam
Sebagaimana halnya Hindu-Buddha, Islam pun memberi pengaruh terhadap seni sastra nusantara. Sastra yang dipengaruhi Islam ini terutama berkembang di daerah sekitar Selat Malaka (daerah melayu) dan Jawa. Di sekitar Selat Malaka merupakan perkembangan baru, sementara di Jawa merupakan kembangan dari sastra Hindu-Buddha.
Seni sastra yang berkembang pada awal periode Islam adalah seni sastra yang berasal dari perpaduan sastra pengaruh Hindu – Budha dan sastra Islam yang banyak mendapat pengaruh Persia. Dengan demikian wujud akulturasi dalam seni sastra tersebut terlihat dari tulisan/ aksara yang dipergunakan yaitu menggunakan huruf Arab Melayu (Arab Gundul) dan isi ceritanya juga ada yang mengambil hasil sastra yang berkembang pada jaman Hindu.[13]
Seni sastra zaman Islam yang berkembang di Indonesia yang mendapat pengaruh dari Persia, seperti cerita-cerita tentang Amir Hamzah, Kalilah dan Dimnah, Bayan Budiman, Kisah 1001 malam (alf lailah wa lailah), dan Abu Nawas. Hampir semua cerita salinan itu dinamakan hikayat dan dimulai dengan nama Allah dan shalawat nabi. Kebanyakan hikayat ini tidak diketahui penyalinnya. Sementara seni sastra yang masih dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu-Budha seperti Hikayat Pandawa Lima, Hikayat Sri Rama. Selain itu, kesusastraan Islam Indonesia adalah syair, di antara yang terkenal adalah syair sufi yang dikarang oleh Hamzah Fansuri, seperti syair perahu. Syair lain sama saja, tidak diketahui pengarangnya.[14]
Karya-karya sastra bentuk prosa dari Persia sampai pengaruhnya kepada kesusasteraan Indonesia misalnya kitab Menak yang ditulis dalam bahasa dan aksara Jawa yang semula ceritera dari Persia. Dalam bahasa Melayu menjadi Hikayat Amir Hamzah. Kitab Menak pada dasarnya serupa dengan kitab Panji, perbedaannya terletak pada tokoh-tokoh pemerannya. Ceritera-ceritera Menak dalam arti Hikayat Amir Hamzah, biasanya ditampilkan pula dalam pertun­jukan wayang golek yang konon diciptakan oleh Sunan Kudus, wayang kulit diciptakan oleh Sunan Kalijaga, dan wayang gedog diciptakan oleh Sunan Giri. Ceritera Menak jumlahnya tidak sedikit, misalnya kitab Rengganis yang banyak digemari oleh masyarakat Sasak di Lombok dan Palembang.[15]
Hasil kesusastraan lain yang mendapat pengaruh Syi‘ah adalah Kisah Muhammad Hanafiah, mengisahkan pertem­puran Hassan dan Husein, anak-anak Khalifah Ali, di medan perang Karbala. Ditulis dan diterjemah­kan dalam bahasa Melayu pada sekitar abad ke-15 Masehi. Hikayat Amir Hamzah, merupakan kisah roman melegenda berdasarkan tokoh Hamzah ibn Abd. Al-Mutalib, paman Nabi Muhammad S.A.W. Kisah roman ini ditulis oleh Hamzah Fansuri, seorang ulama Melayu penganut tasawwuf.Mir‘at al-Mu‘minin (Cerminan jiwa insan setia) yang ditulis oleh Shamsuddin as-Sumatrani, seorang penasehat spiritual Sultan Iskandar Muda, murid dan penerus Hamzah Fansuri.[16]
Para sastrawan Islam melakukan penggubahan-penggubahan baru terhadap Mahabarata, Ramayana, dan Pancatantra. Hasil gubahan ini misalnya Hikayat Pandawa Lima, Hikayat Perang Pandawa Jaya, Hikayat Seri Rama, Hikayat Maharaja Rawana, Hikayat Panjatanderan, Hikayat Panji Kuda Sumirang, Hikayat Cekel Waning pati, Hikayat Panji Wila kusuma, Cerita wayang kinudang, Sya’ir Panji Sumirang. Saduran-saduran tadi sebagian tertulis dalam tembang atau dalam gancaran. Di Jawa, muncul sastra-sastra lama yang dipengaruhi Islam semisal Bratayuda, Serat Rama, Arjuna Sasrabahu.
Bentuk seni sastra yang berkembang adalah:[17]
a. Hikayat yaitu cerita atau dongeng yang berpangkal dari peristiwa atau tokoh sejarah. Sering berisi keajaiban atau peristiwa yang tidak masuk akal. Terkadang juga berisi tokoh sejarah atau berkisar kepada suatu peristiwa yang sungguh terjadi. Hikayat ditulis dalam bentuk gancaran (karangan bebas atau prosa). Contoh hikayat yang terkenal yaitu Hikayat 1001 Malam, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Pandawa Lima, Hikayat Abu Nawas, Hikayat Hang Tuah, Hikayat Bayan Budiman, Hikayat Sri Rama, Hikayat Jauhar Manikam, Hikayat si Miskin (Hikayat Marakarma), Hikayat Bakhtiar,
b. Babad yakni kisah rekaan pujangga keraton sering dianggap sebagai peristiwa sejarahdi melayu sering disebut salasilah dan tambo.  Contohnya Babad Tanah Jawi (Jawa Kuno), Babad Giyanti, Sejarah Hasanudin, Salasilah perak, Sejarah Banten Rante-rante, Babad Cirebon dan lain-lain.
c. Suluk adalah kitab-kitab yang berisi ajaran tasawuf yang bersifat panteisme. Beberapa contoh dari kitab suluk seperti Suluk Sukarsa, dan Suluk Malang Sumirang.
d. Primbon yaitu kitab bercorak kegaiban dan berisi  ramalan-ramalan, penentuan-penentuan hari  baik dan buruk, serta pemberian-pemberian makna kepada suatu kejadian.
e. Bentuk kesusastraan disebut kitab karena isinya ajaran-ajaran moral dan tuntunan hidup sesuai dengan syari’at dan adat, misalnya kitab manik maya, Kitab Anbiya, Kitab Taj al-Salatin,  Bustan al-Salatin.
Dibandingkan seni sastra zaman Hindu, hasil-hasil seni sastra zaman Islam tidak terlalu banyak yang sampai kepada kita. Hal ini disebabkan seni sastra daerah belum mampu sebagai tempat menyimpan, mengabadikan, melangsungkan dan meneruskan hasil-hasil karya karangan sastra zaman Islam kepada kita.
3.      Seni Bagunan (Arsitektur)
Seni bangunan yang bercorak Islami jarang sekali dijumpai di Indonesia. Hampir tidak ada bangunan Islam di Indonesia yang menunjukkan keagungan Islam yang setaraf dengan bangunan bersejarah yang ada di negara Islam lainnya. Disamping itu, Indonesia tidak memiliki satu corak tersendiri seperti Ottoman Style, India style dan Syiro Egypt style, meskipun Islam telah lima abad ada di Indonesia.[18]
Model bangunan Islam pada saat itu masih sangat kental dengan aplikasi, bahkan peniruan model bangunan Hindu Budha. Hal ini dapat dilihat pada model-model masjid dan beberapa perlengkapannya, seperti: menara masjid, atap tumpang dan beduk raksasa yang semuanya adalah mengaplikasi bentuk budaya Hindu dan Budha.
Pasca kemerdekaan, Indonesia dapat berhubungan dengan bangsa yang lain, maka sedikit demi sedikit unsur-unsur lama dapat dihilangkan. Atap tumpang yang sangat identik dengan bangunan hindu Budha dimodifikasi dengan kubah dari masjid timur tengah atau India, misalnya Masjid Kutaraja yang didirikan oleh Belanda tahun 1878. Selain itu, masjid-masjid di Indonesia dalam perkembangannya banyak meniru model-model masjid Negara Islam lainnya. Seperti Masjid Syuhada yang ada di yogyakarta yang menyerupai Taj Mahal India, masjid Istiqlal yang menyerupai ottoman style yang ada di Byzantium dan masjid Al-Tien (di TMII) yang meniru model bangunan India.


4.      Seni Ukir
Tradisi Islam tidak menggambarkan bentuk manusia atau hewan. Dalam sebuah riwayat disebutkan[19]. Berkata Said ibn Hasan: “Ketika saya bersama dengan Ibn Abbas datang seorang laki-laki, ia berkata: “Hai Ibn Abbas, aku hidup dari kerajinan tanganku, membuat arca seperti ini.” Lalu Ibn Abbas menjawab, “Tidak aku katakan kepadamu kecuali apa yang telah ku dengar dari Rasulullah saw. Beliau bersabda, “Siapa yang telah melukis sebuah gambar maka dia akan disiksa Tuhan sampai dia dapat memberinya nyawa, tetapi selamnya dia tidak akan mungkin memberinya nyawa.” Hadits di atas secara eksplisit melarang melukis apapun yang menyerupai makhluk yang hidup, apalagi manusia.
Pada masa-masa awal Islam di Indonesia, ternyata larangan ini diikuti, meskipun di Persi dan India hal itu tidak dihiraukan. Oleh sebab itu, ketika Islam baru datang ke Indonesia, terutama ke Jawa, ada kehati-hatian para penyiar agama. Banyak candi-candi besar, -termasuk candi Borobudur- ditimbun dengan tanah (baru  kemudian pada zaman Belanda ditemukan dan di gali kembali) supaya tidak mengganggu para muallaf.[20]
Kesenian ukir harus disamarkan, sehingga seni ukir dan seni patung menjadi terbatas kepada seni ukir hias saja. Untuk seni ukir hias, orang mengambil pola-pola berupa daun-daun, bunga-bunga, bukit-bukit, pemandangan, garis-garis geometri, dan huruf Arab. Pola ini kerap digunakan untuk menyamarkan lukisan makhluk hidup (biasanya binatang), bahkan juga untuk gambar manusia. Menghias masjid pun ada larangan, cukup tulisan-tulisan yang mengingatkan manusia kepada Allah dan Nabi serta firman-firman-Nya. Salah satu masjid yang dihiasi dengan ukiran-ukiran adalah Masjid Mantingan dekat Jepara berupa pigura-pigura yang tidak diketahui dari mana asalnya (pigura-pigura itu kini dipasangkan pada tembok-tembok masjid). [21]
Ukiran ataupun hiasan, selain ditemukan di masjid juga ditemukan pada gapura-gapura atau pada pintu dan tiang. Gapura-gapura banyak dihiasi dengan pahatan-pahatan indah, seperti gapura di Tembayat (Klaten) yang dibuat oleh Sultan Agung Mataram (1633), sedangkan hiasan yang mewah terdapat pada gapura di Sendang duwur yang polanya terutama berupa gunung-gunung karang, didukung oleh sayap-sayap yang melebar melingkupi seluruh pintu gerbangnya, dibawah sayap sebelah kanan tampak ada sebuah pola yang mengandung makna berupa sebuah pintu bersayap.[22]

B.     Perkembangan Pendidikan Islam Di Indonesia

Jika kita mencermati agenda permasalahan universal yang dihadapi rakyat Indonesia dewasa ini, maka diskursus yang paling menarik untuk dibahas adalah pendidikan. Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dan tidak bisa lepas dari kehidupan. Dengan pendidikan, kita bisa memajukan kebudayaan dan mengangkat derajat bangsa di mata dunia internasional. Dengan pendidikan akan lahirlah Sumber Daya Manusia yang berkualitas, baik dari segi spritual, intelegensi, maupun skill.
Kita barangkali perlu merefleksikan lagi bahwa Indonesia merupakan pusat konsentrasi umat Islam yang terbesar di dunia. Sehingga dengan demikian, eksistensi pendidikan Islam di Indonesia tidak dapat dipandang sebelah mata saja. Karena bagaimanapun, pendidikan Islam merupakan warisan leluhur bangsa ini yang pernah berhasil menciptakan manusia yang berkualitas, baik intelektual maupun moralitas. Sehingga tidak mengherankan, bila pendiri negeri ini meletakkan pendidikan pada tempat yang tertinggi sebagai sarana untuk membina dan membangun manusia Indonesia seutuhnya, sebagaimana tercermin dalam Pembukaan UUD 1945: “Untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.”
Untuk itu, tak berlebihan kiranya jika kita kembali merunut sejarah masa lalu terhadap perkembangan pendidikan Islam di Indonesia dari waktu ke waktu, sejak dengan ditandai oleh munculnya berbagai lembaga pendidikan secara bertahap; mulai dari yang amat sederhana, sampai dengan tahap-tahap yang sudah terhitung modern dan lengkap; yang kesemuanya telah memainkan fungsi dan perannya sesuai dengan tuntutan masyarakat dan zamannya. Dengan demikian diharapkan akan dapat menjadi bahan rujukan dan perbandingan bagi pengelola pendidikan Islam pada masa sekarang ini.
1.      Asal-usul Pendidikan Islam di Indonesia
Berbicara tentang pendidikan Islam di Indonesia, sangatlah erat hubungannya dengan kedatangan Islam itu sendiri ke Indonesia. Dalam konteks ini, Mahmud Yunus mengatakan, bahwa sejarah pendidikan Islam sama tuanya dengan masuknya Islam ke Indonesia. Hal ini disebabkan karena pemeluk agama Islam yang kala itu masih tergolong baru, maka sudah pasti akan mempelajari dan memahami tentang ajaran-ajaran Islam. Meski dalam pengertian sederhana, namun proses pembelajaran waktu itu telah terjadi. Dari sinilah mulai timbul pendidikan Islam, dimana pada mulanya mereka belajar di rumah-rumah, langgar/surau, masjid dan kemudian berkembang menjadi pondok pesantren. Setelah itu baru timbul sistem madrasah yang teratur sebagaimana yang dikenal sekarang ini.[23]
Berdasarkan ungkapan di atas, dapat dipastikan pendidikan Islam itu telah berlangsung di Indonesia sejak mubaligh pertama melakukan kegiatannya dalam rangka menyampaikan keIslaman baik dalam bentuk pentransferan pengetahuan, nilai, dan aktivitas maupun dalam pembentukan sikap atau suri tauladan. Maka dalam konteks pendidikan, para pedagang dan mubaligh yang memperkenalkan sekaligus mengajarkan Islam tersebut adalah pendidik, sebab mereka telah melaksanakan tugas-tugas kependidikan.
Dalam hal ini timbul pertanyaan, apa tolak ukur yang dijadikan bahwa kegiatan para pedagang atau mubaligh di dalam rangka menyampaikan ajaran Islam dapat digolongkan kepada aktivitas pendidikan. Untuk mencari makna dan hakikat pendidikan, maka perlu dcari ciri-ciri esensial aktivitas pendidikan, sehingga dapat dipilih mana aktivitas pendidikan dan mana yang bukan, untuk itu perlu dicari unsur dasar pendidikan.
Neong Muhadjir sebagaimana yang dikutip Haidar Putra Daulay menjelaskan bahwa ada lima unsur dasar pendidikan, yaitu adanya unsur pemberi dan penerima. Unsur pemberi dan penerima baru bermakna pendidikan kalau dibarengi dengan unsur ketiga, yaitu adanya tujuan baik. Jika hanya hubungan pemberi dan penerima saja yang ada ini belum dapat dikatakan aktivitas pendidikan, tanpa dibarengi dengan tujuan baik, sebab hubungan antara penjual dan pembeli, majikan dan buruh, juga ada hubungan antara pemberi dan penerima dan hubungan yang seperti ini belum dikatakan aktivitas pendidikan. Unsur berikutnya yakni unsur keempat cara atau jalan yang baik. Hal ini terkait nilai. Selanjutnya unsur kelima adalah konteks yang positif upaya pendidik adalah menumbuhkan konteks positif dengan menjauhi konteks negatif.[24]
Dengan dijelaskannya kelima unsur dasar pendidikan di atas akan dapat dijadikan acuan tentang aktivitas pedagang dan muballigh tersebut apakah dapat digolongkan sebagai sebuah aktivitas pendidikan atau bukan. Maka jika kita hubung-hubungkan akan ditemukan sebuah kesimpulan bahwa para pedagang dan mubaligh ketika memperkenalkan dan mengajarkan ajaran Islam kepada masyarakat sudah memenuhi unsur pendidikan tersebut. Dengan demikian, pendidikan Islam di Indonesia telah berlangsung sejak masuknya Islam ke Indonesia, dan dengan demikian pula pendidikan Islam telah memainkan peranannya dalam pembentukan masyarakat Indonesia.
2.      Sistem Pendidikan Islam Pada Masa Kerajaan Islam di Nusantara
Ibnu Batutah dalam bukunya Rihlah Ibn Batutah menuliskan bahwa ketika ia berkunjung ke Samudra Pasai pada tahun 1354 ia mengikuti raja mengadakan halaqah setelah shalat Jum’at sampai waktu Ashar. Dari keterangan itu diduga kerajaan Samudra Pasai ketika itu sudah merupakan pusat agama Islam dan tempat berkumpul para ulama-ulama dari berbagai Negara Islam untuk berdiskusi tentang masalah-masalah keagamaan dan keduniawian sekaligus.[25]
Setelah kerajaan Samudra pasai mundur dalam bidang politik, tradisi pendidikan agama Islam terus berlanjut. Samudra Pasai terus berfungsi sebagai pusat studi Islam di Asia tenggara, walaupun secara politik tidak berpengaruh lagi. ketika kerajaan Islam Malak muncul menjadi pusat kegiatan politik, Malak berkembang juga menjadi pusat studi Islam. Akan tetapi peranan Samudra Pasai sebagai pusat studi Islam tidak berkurang, bahkan terkadang masalah yang tidak dapat dipecahkan oleh ulama Malaka dimintakan fatwanya kepada ulama samudra pasai. Kerajaan Malaka selain sebagai pusat politik Islam, juga giat melaksanakan pengajian dan pendidikan Islam.[26]
Di kerajaan Aceh Darussalam, sultan Iskandar Muda juga sangat memerhatikan pengembangan agama dengan mendirikan masjid-masjid seperti Masjid Baiturrahman di Banda Aceh dan juga pusat-pusat pendidikan Islam yang disebut dayah. Sultan mengambil ulama sebagai penasihatnya, yang terkenal di antaranya adalah Samsuddin al-Sumatrani. Trasidi ini dilanjutkan oleh sultan-sultan selanjutnya, sehingga di Aceh terdapat ulama-ulama terkenal yang sangat berjasa menyebarkan ilmu pengetahuan Islam di Asia tenggara. Kemajuan pesat lembaga pendidikan di Aceh ini telah menyebabkan orang menjulukinya sebagai “Serambi Makkah”. Murid dari kerajaan lain belajar kepada guru ngajinya masing-masing, kemudian meningkat belajar lebih tinggi di Aceh, sesudah itu ke Makkah.
Dalam hubungannya dengan pengembangan pendidikan Islam di Indonesia, sejak awal penyebaran Islam, masjid telah memegang peranan yang cukup besar. Kedatangan orang-orang Islam ke Indonesia yang pada umumnya berprofesi sebagai pedagang, mereka hidup berkelompok dalam beberapa tempat, yang kemudian tempat-tempat yang mereka tempati tersebut menjadi pusat-pusat perdagangan. Di sekitar pusat-pusat dagang itulah, mereka biasanya membangun sebuah tempat sederhana (masjid), dimana mereka bisa melakukan shalat dan kegiatan lainnya sehari-hari. Memang tampaknya tidak hanya kegiatan perdagangan yang menarik bagi penduduk setempat. Kegiatan para pedagang muslim selepas dagangpun menarik perhatian masyarakat. Maka sejak itulah pengenalan Islam secara sistematis dan berlangsung di banyak tempat.
Pada masa itu, masjid dijadikan satu-satunya tempat bertemu antara ulama dengan masyarakat umum. Hal ini mengingat tidak ada tempat yang lebih memadai dalam mewadahi kegiatan tersebut selain di masjid. Maka tak heran bila akhirnya masjid selain untuk kegiatan ibadah, juga difungsi sebagai pusat kegiatan pendidikan bagi penduduk pedesaaan. Dari masjid inilah generasi muda muslim dididik dan digembleng, merekalah yang nantinya membuka jalan baru dalam membentuk masyarakat muslim di Indonesia dan menyebar sampai seluruh pelosok tanah air hingga terbentuknya kerajaan Islam di Indonesia.
Pada masa kerajaan Islam, para sultan memberikan dukungan yang sangat besar terhadap pengembangan masjid sebagai pusat pendidikan. Di Jawa, Sultan Demak memerintahkan pembangunan masjid agung yang menjadi pusat keilmuan kerajaan di Bintara, kemudian dukungan kepada para wali yang bertanggung jawab terhadap kehidupan agama Islam di Demak dengan pusat kegiatannya di Masjid Agung Demak. Dari masjid itulah para wali merencanakan, mendiskusikan dan membahas perkembangan Islam di Jawa dan pada akhirnya mereka berhasil mengIslamkan Pulau Jawa. Di Kutai, Sultan mendirikan masjid yang dijadikan sebagai tempat terhormat untuk menjadi tempat pendidikan dari kalangan bawah sampai atas, termasuk dari kalangan keluarganya sendiri. Sementara di Aceh, masjid dibangun dengan megah dan dijadikan tempat mendidik masyarakat kesultananan Aceh.[27]
Dalam perkembangan selanjutnya, masjid sebagai pusat pendidikan dan pengajaran secara informal maupun nonformal ini ternyata memberikan hasil yang cukup gemilang, yakni tersebarnya ajaran Islam keseluruh pelosok tanah air.
Di Minangkabau lembaga pendidikan disebut surau. Surau sebelum Islam datang berfungsi sebagai tempat menginap anak-anak bujang. Setelah Islam datang surau dipergunakan sebagai tempat shalat, pengajaran, dan pengembangan Islam, seperti belajar membaca al-Qur`an. Yang pertama melakukan Islamisasi surau adalah Syaikh Burhanuddin (1641-1691) setelah menuntut ilmu keislaman kepada Abdurra’uf Singkel di Kutaraja Aceh, burhanuddin kembali ke kampung halamannya di Ulakan-pariaman, mendirikan surau untuk mendidik kader-kader ulama yang akan melakukan pengembangan Islam selanjutnya di Minangkabau. Surau inilah cikal bakal lembaga pendidikan Islam yang lebih teratur di masa berikutnya. Murid-muridnya kemudian kembali ke tempat masing-masing, mendirikan surau-surau sambil melakukan perbaikan dan pengembangan.[28]
Di kerajaan Islam Banjar Kalimantan Selatan, lembaga pendidikan Islam pertama dikenal dengan nama langgar. Orang pertama yang mendirikan langgar adalah Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari, seorang ulama Banjar yang pernah menuntut ilmu keislaman di Aceh dan Makkah selama beberapa tahun. Sekembalinya ke Banjarmasin, ia membuat langgar yang didirikan di pinggiran ibukota kerajaan yang kemudian dikenal dengan nama kampung Dalam Pagar. Langgar di Banjar banyak kemiripannnya dengan pesantren di jawa.[29]
Di Jawa lembaga pendidikan Islam disebut pesantren. Sebelum Islam datang, pesantren sudah dikenal sebagai lembaga pendidikan agama Hindu. Setelah Islam masuk nama itu menjadi  nama lembaga pendidikan agama Islam. Lembaga pendidikan Islam pertama di Jawa adalah Pesantren Giri dan Pesantren Gresik di Jawa Timur. Terdapat juga pendidikan agama di Ampel-Surabaya-Jawa Timur, yang dibangun oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel Denta). Berawal dari usaha dua Sunan ini, pada masa berikutnya semakin banyak pusat-pusat pendidikan Islam di Jawa seperti Tembayat, Prawoto (Demak), dan Gunung Jati Cirebon.
Di Jawa setelah berdirinya kerajaan Demak, pendidikan Islam bertambah maju karena telah ada pemerintah yang menyelenggarakannya dan pembesar-pembesar Islam membelanya. Pada tahun 1476 di Bintoro di bentuk organisasi Bayankare Islah (Angkatan Pelopor Perbaikan) untuk mempergiat usaha dan pengajaran Islam. Salah satu dari rencana pekerjaannnya adalah membagi tanah Jawa-Madura atas beberapa bagian untuk lapangan pendidikan, yang mana tiap-tiap bagian dikepalai oleh seorang wali dan seorang pembantu (badal). [30]
Berdasarkan rencana itu, di tiap tempat sentral suatu daerah didirikan masjid, dipimpin oleh wali atau badal untuk menjadi sumber pendidikan Islam yang sampai sekarang dibeberapa tempat masih ada. Para wali tiap dearah diberi gelar sesuai dengan nama daerahnya, misalnya Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang, dan lain sebagainya. Sedangkan badal gelarnya Kiai Ageng, misalnya Kiai Agung Tarub, Kiai Agung Selo, dan lain-lain.
Kebijaksanaan wali-wali menyiarkan agama Islam dengan memasukkan unsur-unsur pendidikan dan pengajaran Islam dalam segala cabang kebudayaan sangat memuaskan, sehingga agama Islam tersebar ke seluruh Indonesia. [31]
Kemudian pusat kerajaan pindah ke Mataram tahun 1586. Pada zaman Sultan Agung Mataram (1613), sesudah mempersatukan Jawa Tengah dengan Jawa Timur pada Tahun 1630, Sultan Agung membangun negara, mempergiat pertanian dan perdagangan. Untuk pelaksanaan pendidikan di suatu kabupaten dibagi menjadi beberapa bagian. Pelaksanaannya pada tiap-tiap bagian dipertanggungjawabkan kepada beberapa ketib, dibantu oleh beberapa Modin. Naib dan pengawalnya serta Modin Desa adalah penyelenggara dan Naib sebagai kepalanya. Di beberapa daerah kabupaten diadakan Pesantren Besar lengkap dengan pondok-pondoknya untuk melanjutkan pendidikan di Desa. Gurunya diberi gelar Kiai Sepuh ayau Kanjeng Kiai.
Di desa-desa diadakan beberapa tempat pengajian al-Qur`an, dimulai dengan mengenal  huruf Hijaiyyah, Juz ‘Amma, al-Qur`an, pokok-pokok dasar ilmu agama Islam seperti ibadah, rukun iman, rukun Islam dan sebagainya.
Pada masa kerajaan Kartasura (± tahun 1700) ada beberapa pesantren besar yang dijadikan perdikan, yaitu diberikan tanah, sawah dan tempat tinggal sebagai hak milik turun temurun yang yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Tanah itu disebut tanah Mutihan. Namun sayang, pada tahun 1916-1917 semua perdikan dihapuskan oleh Belanda dijadikan tanah gubernemen.[32]

3.      Pendidikan Islam Zaman Penjajahan
a.       Pendidikan Zaman Belanda
Sejarah kolonial membuktikan bahwa Belanda sangat berkepentingan untuk menghambat pendidikan Islam di Indonesia. Hal yang dipandang menguntungkan Islam dinilainya akan merugikan kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Kenyataan pahit pernah dialami oleh umat Islam Indonesia dengan adanya kebijaksanaan ‘Perburuan Guru Agama’ yang diterapkan pemerintah. Kebijaksanaan itu merupaka reaksi pemerintah Belanda atas pemberontakan Banten tahun 1888. Umat Islam juga pernah merasakan getirnya kebijakan Ordonasi Guru tahun 1905 (dan diperbarui tahu 1925). Ordonasi guru mewajibkan setiap guru agama Islam memperoleh izin bupati bagi kelayakan mengajar, seperti mengajar membaca al-Qur`an.[33]
Pada masa tersebut, seorang bupati mengemban tugas mengawasi para penghulu, guru pengajian, dan semua hal yang berkaitan dengan kegiatan agama Islam. Beberapa kebijakan pemerintah yang sangat membatasi  gerak langkah umat Islam, termasuk dalam hal pendidikan,  sangat merugikan umat Islam dan perkembangan Islam di Indonesia. Dampaknya, pendidikan Islam mengalami stagnasi, atau bahkan kemunduran.[34]
Kemunduran pendidikan Islam itu sampai puncaknya sebelum tahun 1900 M yang meliputi seluruh Indonesia.  Bahkan pada tahun 1882 Belanda membuat badan khusus yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam. Tahun 1925 Belanda mengeluarkan peraturan lebih ketat, bahwa tidak semua kiai boleh memberikan pelajaran mengaji. Peraturan itu disebabkan tumbuhnya organisasi pendidikan Islam, seperti Muhammadiyah, Syarikat Islam, Al-Irsyad, Nahdhatul Wathan, dan lain-lain. Selain itu, untuk menjaga dan menghalangi masuknya pelajaran agama di sekolah umum yang kebanyakan muridnya beragama Islam, maka pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan yang disebut ‘netral agama’.
Jika melihat peraturan-peraturan Belanda yang demikian ketat mengawasi dan menekan aktivitas madrasah dan pesantren di Indonesia, seolah-olah pendidikan Islam akan lumpuh total pada perkembangan selanjutnya. Apa tetapi apa yang terjadi adalah sebaliknya.
Pada tahun 1901 Belanda melakukan politik etis, yaitu mendirikan pendidikan rakyat sampai ke desa yang memberikan hak-hak pendidikan pada pribumi dengan tujuan untuk mempersiapkan pegawai-pegawai yang bekerja untuk Belanda, juga untuk menghambat pendidikan tradisional. Di luar dugaan, berdirinya sekolah-sekolah rakyat di desa di mana orang pribumi belajar di sekolah-sekolah Belanda justru menjadikan mereka mengenal sistem pendidikan modern: sistem kelas, pemakaian meja, metode belajar modern, dan pengetahuan umum. Mereka juga menjadi mengenal surat kabar dan majalah untuk mengikuti perkembangan zaman. Pandangan rasional ini menjadi pendorong untuk mengadakan pembaharuan, di antaranya bidang agama dan pendidikan. Maka, lahirlah gerakan pembaruan pendidikan Islam.[35]
Masa perubahan di Jawa sejak tahun1900 dimulai oleh K.H. Hasyim Asyari yang membuka Pesantren Tebuireng di Jombang, mulai tingkat dasar sampai tingkat tinggi yang meluluskan banyak ulama. Pada masa perubahan ini kitab yang dipakai semuanya dicetak. Kitab yang ditulis tangan tidak dipakai lagi. pada mulanya kitab-kitab itu dicetak di Makkah dan Singapura, kemudian kitab-kitab itu dipesan ke Mesir. Selain kitab-kitab ada juga majalah dari Mesir seperti al-Manar.
Dengan demikian pembaruan pendidikan Indonesia sudah dimulai sejak zaman kolonial Belanda. Hal ini ditandai dengan berdirinya organisasi-organisasi Islam (seperti Sumatra Thawalib, Jaami’atul Khayr, Al-Irsyad, PUI, Muhammadiyah, PERSIS, dan lain lain) yang mendirikan sekolah-sekolah Islam, di mana sistem pengajarannya tidak lagi di surau dengan sistem tradisional melainkan sudah menggunakan sistem klasikal dengan kurikulum pelajaran agama dan pengetahuan umum, walaupun kondisinya masih sederhana.
b.      Pendidikan Zaman Jepang
Jepang menjajah Indonesia setelah mengalahkan Belanda dalam Perang Dunia II pada tahun 1942 dengan semboyan Asia Timur Raya atau Asia untuk Asia. Pada awalnya pemerintah jepang seakan-akan membela kepentingan Islam sebagai siasat untuk memenangkan perang. Untuk menarik dukungan rakyat Indonesia, pemerintah Jepang membolehkan didirikannya sekolah-sekolah agama dan pesantren-pesantren yang terbebas dari pengawasan Jepang. Selain itu, kebijaksanaan Jepang yang lain di antaranya; mengunjungi dan memberi bantuan kepada pondok pesantren yang besar-besar, memberi pelajaran budi pekerti kepada sekolah-sekolah negeri, mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam dipimpin oleh K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir, dan Bung Hatta, membolehkan berdirinya Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Kantor Urusan Agama yang pada zaman Belanda disebut kantor Voor Islamistische Saken yang dipimpin oleh  orientalis Belanda diubah menjadi Sumubu yang dipimpin ulama Islam sendiri, yaitu K.H. Hasyim Asyari dari Jombang dan di daerah-daerah disebut sumuka, didirikannya Barisan Pembela Tanah Air (PETA) oleh Ulama Islam bekerja sama dengan pemimpin nasionalis.
Maksud dari pemerintah jepang adalah agar kekuatan umat Islam dan nasionalis bisa diarahkan untuk kepentingan memenangkan perang yang dipimpin Jepang.
Pada masa pemerintahan Jepang, sekolah dasar dijadikan satu macam yaitu sekolah dasar enam tahun.  Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar digunakan di semua sekolah dan menjadi mata pelajaran utama. Bahasa Jepang diberikan sebagai mata pelajaran wajib. Para pelajar harus mempelajari adat istiadat Jepang. Mereka juga diharuskan melakukan kinrohosyi (kerja bakti), mengikuti pelatihan jasmani (taiso) dan latihan militer. Mereka digembleng  agar memiliki semangat Jepang, harus menyanyikan lagu kebangsaan Jepang Kimigayo serta melakukan penghormatan ke arah istana Kaisar di Tokyo dan bendera Jepang.
Para Guru dilatih dan diindoktrinasi dalam Hakko Iciu (kemakmuran bersama) pada bulan Juni 1942 di Jakarta. Para peserta diambil dari tiap-tiap daerah kabupaten. Sesudah selesai latihan mereka harus kembali ke daerah masing-masing, mengadakan latihan untuk meneruskan hasil yang mereka peroleh dengan melatih guru-guru yang lain, sehingga menjadi propaganda Jepang.
Semua perguruan tinggi masa pemerintah militer Jepang ditutup, walaupun kemudian ada beberapa yang dibuka, seperti Perguruan Tinggi Kedokteran (Ika Daigaku) di Jakarta tahun 1943, Perguruan Tinggi Teknik di Bandung, Perguruan Pamongpraja di Jakarta, Perguruan Tinggi Kedokteran Hewan di Bogor. Semuanya tetap di bawah pengawasan Jepang.[36]
Demikianlah sekolah-sekolah pada zaman militer Jepang umumnya mengalami kemunduran. Namun, masalah yang paling penting  pada sekolah-sekolah itu (1942-1945) adalah nasionalisasi, bahasa pengantar, serta pembentukan kader-kader muda untuk tugas berat di masa mendatang.

c.       Pendidikan Zaman Kemerdekaan
Pasca kemerdekaan, pendidikan Islam mulai mendapat kedudukan yang sangat penting dalam sistem pendidikan nasional. Pendidikan agama di sekolah mendapat tempat yang teratur, seksama, dan penuh perhatian. Madrasah dan pesantren juga mendapat perhatian. Untuk itu dibentuk Departemen Agama pada tanggal 3 Desember 1946 yang bertugas mengurusi penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah umum dan madrasah serta pesantren-pesantren.[37]
Pendidikan Islam setahap demi setahap dimajukan. Istilah pesantren yang dulu hanya mengajar agama di surau dan menolak modernitas pada zaman kolonial, sudah mulai beradaptasi dengan tuntutan zaman. Sekolah agama, termasuk madrasah ditetapkan sebagai model dan sumber pendidikan Nasional yang berdasarkan Undang-undang Dasar 1945.
Pada tahun 1958 pemerintah terdorong untuk mendirikan Madrasah Negeri dengan ketentuan kurikulum 30% pelajaran agama dan 70% pelajaran umum. Sistem penyelenggaraannya sama dengan sekolah-sekolah umum dengan perjenjangan; Madrasah Ibtida`iyyah Negeri (MIN) setingkat SD dengan lama belajar 6 tahun, Madrasah Tsanawiyyah Negeri (MTsN) setingkat SMP lama belajar 3 tahun, dan Madrasah ‘Aliyah Negeri (MAN) setingkat SMA lama belajar 3 tahun.
Selain itu tuntutan untuk mendirikan perguruan tinggi juga meningkat. Sebelum kemerdekaan sebenarnya sudah berdiri perguruan tinggi pertama, yaitu Sekolah Tinggi Islam didirikan oleh Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI) di Padang. Di Jakarta didirikan STI (Sekolah Tinggi Islam) pada Juli 1945 oleh beberapa pemimpin Islam, yaitu Hatta dan M. Natsir. Karena pergolakan kemerdekaan, STI dipindah ke Yogyakarta dan pada 22 Maret 1945 STI berubah menjadi UII (Universitas Islam Indonesia). Setelah kemerdekaan di Yogya juga dibuka UGM (Universitas Gadjah Mada). Pemerintah kemudian menawarkan untuk menegerikan UII dan UGM. UII menerima dengan syarat di bawah naungan Departemen Agama. Akhirnya hanya satu fakultas yang dinegerikan, yaitu Fakultas Agama.  Kemudian Fakultas Agama UII berubah menjadi PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri). Di Jakarta dibuka ADIA ( Akademi Dinas Ilmu Agama), yang pada Mei 1960 digabungkan dengan PTAIN oleh Departemen Agama menjadilah IAIN yang berkedudukan di Yogya dan bercabang di Jakarta. Setelah beberapa tahun Departemen Agama memisahkan IAIN menjadi dua yang masing-masing berdiri sendiri, yaitu IAIN Yogya dan IAIN Jakarta.

Sejalan dengan perkembangannya, IAIN bertambah pesat dan melahirkan cabang-cabangnya di pelbagai wilayah. Selain itu, perguruan tinggi swasta juga bermunculan di antaranya UNJ, UM, UNISBA, dan UNISMA. Pada tahun 2002, IAIN Syarif Hidayatullah berubah menjadi UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah yang di dalamnya menyelenggarakan pendidikan selain fakultas-fakultas agama -seperti Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Fakultas Adab,  dan Ilmu Humaniora, Fakultas Ushuluddin dan Falsafah, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Fakultas Dakwah dan Komunikasi- juga membuka Fakultas Psikologi, Fakultas Ekonomi dan Sosal, Fakultas Sain dan Tekhnologi, dan program pascasarjana. Juga sedang dirancang pendirian Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan.[38]















DAFTAR PUSTAKA

Daulay, Haidar Putra, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2007.
Hamka, Sejarah Umat Islam VI, Jakarta, Bulan Bintang, 1975.
Huda, Nor, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, Jogjakarta, Ar-Ruzz Media, 2007.
Nawawi, -An, Syarh Muslim, Juz XIV.
Sunanto, Musyrifah, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, Rajawali Press, 2010.
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1985.
lentera-rakyat.sos4um.com/t825-seni-bangunan-islam/html.
cimyelfata.blogspot.com/…./peradaban-islam-di-indonesia/html.
aditiyapk.wordpress.com/2008/.../islam-dalam-seni-budaya-indonesia/html.
majapahit1478.blogspot.com/p/jejak-islam//html.


[1]Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), h. 92
[2]Ibid., h. 92
[3]Hamka, Sejarah Umat Islam IV, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 78.
[5]Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia,……………, h. 94
[6] indonesianto07.wordpress.com/.../perkembangan-dan-akulturasi-islam.html
[7] Ibid.,
[8]Musyrifah Sunanto.,  h. 95
[9] aditiyapk.wordpress.com/2008/.../islam-dalam-seni-budaya-indonesia/html
[10]Musyrifah Sunanto., Op. Cit., h. 98
[11]Ibid.,  h.98-99.
[12] aditiyapk.wordpress.com/2008/.../islam-dalam-seni-budaya-indonesia...
[13] Ibid.,
 [14]Musyrifah Sunanto, Op. Cit., h. 98
[15] cimyelfata.blogspot.com/.../peradaban-islam-di-indonesia-sebelum.html
[17] Ibid,
[18]lentera-rakyat.sos4um.com/t825-seni-bangunan-islam/html
[19]An-Nawâwî, Syarh Muslim, juz XIV, hlm. 86-87
[20] Musyrifah Sunanto., Op. Cit., h. 101.
[21] Ibid., h. 103
[22] Ibid., h. 104.
[23]Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1985.
[24]Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cet. II, 2007.
[25] Musyrifah Sunanto…….,  h. 105
[26]Ibid., h. 105
[28]Mahmud Yunus, Op. Cit., h. 25.
[29] Musyrifah Sunanto, Op. Cit., h. 111
[30] Ibid., h. 114
[31] Ibid., h. 115.
[32] Ibid., h. 117.
[33] Nor Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), h. 374.
[34] Ibid., h. 374.
[35]Musyrifah Sunanto, Op. Cit., h. 120-121.
[36]Ibid., h. 126-127.
[37]Musyrifah Sunanto, Op. Cit., h. 128.
[38]Ibid., h. 131.

5 komentar:

  1. sangat membantu.. terima kasih teteh.. :)

    BalasHapus
  2. makasih sob!
    www.sigli-net.blogspot.com

    BalasHapus
  3. thanks ya ukhti artikelnya sangat bermanfaat sekali jangan lupa kunjungi blog ane ya .... kreatiftricks.blogspot.com

    BalasHapus